Kemerdekaan belajar. Demikian, dua kata penuh makna yang disampaikan oleh Mas Mendikbud. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Mas Menteri dengan percaya diri menyatakan bahwa ide yang dilontarkan, dalam hal ini asesmen kompetensi, bukan tanpa dasar atau rasional yang kuat. Apa makna kemerdekaan belajar? Mengapa kemerdekaan belajar penting? Penulis ingin mencoba sedikit mengupas urgensi kemerdekaan belajar bagi siswa dari perspektif teknologi pembelajaran.
Kata kemerdekaan yang dimaksud pada dasarnya adalah kemandirian(autonomy). Kemandirian (otonomi)Â sangat erat kaitannya dengan kendali diri dan merupakan faktor penting dalam semua aspek kehidupan kita. Ketika seseorang memiliki kemandirian, dia akan memiliki kendali diri. Hal ini akan membuat individu semakin percaya diri atas keputusan dan tindakanya.Â
Ryan & Deci (2000) dari Universitas Rochester menamakan ini dengan sef-determinant theory. Teori ini menyatakan bahwa kendali diri atau kemandirian membuat seseorang mampu menentukan nasibnya sendiri dan mendorong individu untuk memiliki motivasi intrinsik yang tinggi yang berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan kesejahteraan seseorang.Â
Dengan kata lain, jika seseorang memiliki kemandirian, maka ia memiliki kendali diri. Dengan adanya kendali diri, ia akan merasa bahwa apapun yang mereka lakukan dan hasilnya adalah merupakan buah dari keputusannya sendiri. Sebaliknya, seseorang dengan kemandirian rendah akan merasa bahwa segala tindakan dan keputusannya sangat terganting pada lingkungan eksternal yang diluar kendali dirinya.Â
Apa kaitanya dengan pendidikan, lebih khusus, pembelajaran di kelas? Dalam konteks pembelajaran, kita biasa mengenalnya dengan istilah autonomus learning, independent learning, dan self-directed learning.Â
Bahkan Hase & Canyon (2007), menyebutnya sebagai self-determined learning (heutagogy) menggeser paradigma self-directed learning, dalam konteks andragogi. Heutagogy, bersanding dengan peeragogy (Rheingold, 2014) menjadi suatu paradigma pembelajaran baru yang dikenal dengan  cybergogy (Wang & Kang, 2006) di era cyber-physical system (revolusi industri 4.0), dewasa ini. Kemerdekaan belajar, dalam konteks pembelajaran di kelas, pada dasarnya sangat erat kaitanya dengan student-centered learning (SCL). Bukan hal baru, sebenarnya.Â
Namun, penulis menduga, Mas Mendikbud menginginkan agar SCL dilaksanakan dengan sebenar-benar SCL yang meberikan kemerdekaan belajar. Mengapa? Karena, sejatinya, SCL memberikan kesempatan kepada siswa untuk memegang kendali belajarnya sendiri. Guru lebih berperan sebagai fasilitator pembelajaran. Pesan ini yang sangat tegas disampaikan oleh Mas Mendikbud dalam berbagai kesempatan.
Dengan SCL, siswa memegang kendali (kemerdekaan) belajarnya. Mengacu pada self-determinant theory seperti dijelaskan di atas, SCL dapat membangun dua karakter penting, yaitu kedaulatan (sovereignty) dan tanggung jawab (responsibility) diri.Â
Dengan ragam locus of control yang diberikan kepada siswa oleh guru, siswa didorong, bahkan terpaksa untuk mengembangkan kedaulatan (kuasa dan kendali) dalam menentukan tujuan belajar serta keputusan yang dia ambil untuk mencapai tujuan belajarnya tersebut.Â
Dengan demikian, ia belajar bertanggungjawab, menjadi lebih akuntabel atas konsekuensi berbagai keputusan belajar yang diambilnya. Artinya, tugas seorang guru adalah memfasilitasi siswa dengan beragam variasi authentic and challenging tasks (Ashburn & Floden, 2006). Â
Namun demikian, kemerdekaan belajar yang dimaksud disini, bukan kemerdekaan dalam arti independensi (independence). Bukan pula dalam arti otodidak (autodidaxy). Tapi, kemerdekaan dalam arti mendorong pengembangan kedaulatan dan tanggung jawab siswa melalui keberadaan guru (pendidik) serta sumber belajar relevan lainnya.Â