Uul Lusiana_202310180311076_EP A
Memiliki rumah impian adalah dambaan bagi banyak orang. Bayangkan saja, hunian yang nyaman, sesuai dengan selera dan kebutuhan. Menjadikannya tempat berlindung yang aman dan penuh kenangan indah bersama keluarga tercinta. Namun, bagi sebagian besar masyarakat, mimpi ini bagaikan fatamorgana, indah namun sulit digapai.
Harga rumah yang terus melambung tinggi bak roket yang melesat tanpa henti menjadi jurang pemisah antara mimpi dan kenyataan. Gaji yang pas-pasan tidak sebanding dengan harga rumah yang terus meroket. Hal ini membuat banyak orang terjebak dalam siklus sewa-menyewa tanpa henti. Yang secara tidak langsung membuatnya semakin jauh dari angan-angan untuk memiliki rumah sendiri.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga merambah ke daerah pinggiran. Harga tanah dan biaya material bangunan yang semakin lama semakin terus naik. Mengakibatkan harga jual rumah yang melambung tinggi ke atas. Hal tersebut mengarahkan kepada kita bahwa daya beli masyarakat menjadi rendah yang memengaruhi tingginya suku bunga KPR serta pertu7mbuhan harga rumah. Jika dilihat disisi lain terdapat kelebihan penawaran rumah (Over Supply Housing). Namun disisi lain juga terjadi kekurangan penawaran rumah dengan harga yang terjangkau (Under Supply Affordable Housing).
Bagi generasi muda, membeli rumah impian bagaikan mendaki gunung Everest tanpa bekal yang memadai. Tabungan yang terkumpul selama bertahun-tahun tidak cukup untuk membeli rumah yang layak huni, bahkan di luar wilayah perkotaan. Hal ini memicu kecemasan dan frustrasi. Menenggelamkan generasi muda dalam jurang ketidakpastian akan masa depan yang semakin di ujung tanduk.
Pemerintah, sebagai pemangku kebijakan, tidak luput dari sorotan. Kebijakan yang belum berpihak pada rakyat, seperti skema kredit rumah yang rumit dan akses kepemilikan rumah yang terbatas. Membuatnya secara tidak langsung semakin memperparah situasi yang ada. Kurangnya pembangunan rumah bersubsidi dan program kepemilikan rumah yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah turut serta merta dalam memperkeruh keadaan.
Maka untuk menjawab keresahan tersebut, pemerintah mulai meluncurkan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sebagai solusi untuk membantu masyarakat mewujudkan mimpi memiliki rumah. Â Serta mengatasi permasalahan dalam hal yang menyangkut permasalahan akses perumahan yang terjangkau bagi masyarakat.
Namun, perlu diingat bahwa keberhasilan Tapera dalam mewujudkan mimpi rumah impian bagi masyarakat. Dibutuhkannya komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak, baik pemerintah, pengembang perumahan, lembaga keuangan, maupun masyarakat luas. bentuk implementasinya Tapera yang efektif, transparan, edukatif, serta melakukan sosialisasi yang masif perlu digalakkan kepada masyarakat. Menjadikannya kunci utama untuk mencapai tujuan tersebut.
Pemerintah membuat kebijakan Tapera untuk beberapa alasan penting. Pertama, Tapera bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi rakyat Indonesia. Kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau adalah salah satu aspek penting dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan memiliki rumah yang layak dan terjangkau, masyarakat dapat memiliki tempat tinggal yang aman dan nyaman, serta memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Kedua, Tapera bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pembiayaan perumahan. Pembiayaan perumahan adalah salah satu aspek penting dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap rumah yang layak dan terjangkau. Dengan memiliki akses yang lebih baik terhadap pembiayaan perumahan, masyarakat dapat memiliki kesempatan untuk memiliki rumah yang layak dan terjangkau.
Ketiga, Tapera bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya memiliki rumah yang layak dan terjangkau. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya memiliki rumah yang layak dan terjangkau dapat membantu masyarakat untuk lebih memperhatikan kebutuhan rumah tersebut.
Tetapi disisi sampingnya program Tapera sesungguhnya tidaklah masuk akal jika dipikirkan dengan baki- baik. Yang pertama ialah dilihat dari sudut potongan yang dikenakan maka diwajibkan untuk memangkas 2,5% sampai 3%. Hal tersebut mustahil untuk mendapatkan rumah dengan melihat harga dipasaran sekarang. Jika pun ada lokasinya pasti jauh dari perkotaan.
Berikutnya, karena pemerintah hanya mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi apapun atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru. Di banyak negara , langkah pertama yang dilakukan pemerintah untuk membuat hunian terjangkau bagi warganya harus menciptakan produksinya terlebih dahulu.
Setelahnya, seandainya pemerintah berniat untuk menekan angka ketimpangan kepemilikan rumah atau backlog di Jakarta -- jalan keluar yang seharusnya dilakukan adalah membangun hunian terjangkau berupa hunian Transit Oriented Development (TOD) seperti apartemen sewa murah yang dekat dengan transportasi publik. Selain itu juga terdapat adanya Distrust yang terjadi dikalangan masyarakat. Hal itu terbukti saat Tapera dipekernalkan langsung menjadi bahan perbincangan di kalangan publik. Sebagian masyarakat khawatir jika dananya akan diselewengkan oleh pemerintah seperti pada program jaminan sosial di Asabri, Jiwasraya, serta Taspen.
Mimpi memiliki rumah impian tidak seharusnya menjadi privilege bagi segelintir orang. Setiap individu berhak memiliki tempat tinggal yang layak dan nyaman. Diperlukan upaya nyata dari berbagai pihak, baik pemerintah, pengembang perumahan, maupun masyarakat, untuk mewujudkan mimpi ini menjadi kenyataan. Solusi kreatif dan inovatif harus dicari untuk menjembatani jurang yang menganga antara harga rumah dan kemampuan masyarakat.
Hanya dengan kerjasama dan komitmen bersama, mimpi memiliki rumah impian tidak lagi terkubur di bawah harga selangit, dan menjadi kenyataan yang dapat dinikmati oleh semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H