Udang merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani bermutu tinggi yang sangat digemari oleh konsumen dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu jenis udang yang merupakanprimadona komoditas ekspor non-migas dari sektor perikanan adalah udang windu (Penaus monodon) Komoditas perikanan ini merupakan salah satu produk ekspor Indonesia dengan negara tujuan utama adalah Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat (Rosnizar et al. 2018).Â
Udang windu merupakan salah satu komoditas unggulan subsektor perikanan di Indonesia dalam upaya meningkatkan devisa negara. Permintaan pasar meningkat dengan didukung sumberdaya alam yang cukup besar memberikan peluang bagi pembudidaya untuk meningkatkan pengembangan dari budidaya udang windu. Berbagai upaya dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu (Syukri dan Ilham 2016). Data produksi udang di Indonesia dari tahun 2017 hingga 2020 dapat dilihat pada Tabel 1.
Nilai ekspor produk perikanan Indonesia mengalami peningkatan yakni dari US$ 2.04 miliar pada tahun 2020 meningkat menjadi US$ 2,23 miliar pada tahun 2021 yang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Kondisi ini menjelaskan bahwa telah terjadi upaya perbaikan mutu dan nilai tambah yang signifikan pada sektor perikanan.Â
Selain itu ditambahan pula bahwa nilai dan volume ekspor yang selalu naik menjadi kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional, yaitu naik dari 3.11 % pada tahun 2011 menjadi 6.45 % pada tahun 2013.Â
Data ini menunjukkan perkembangan PDB perikanan tumbuh diatas pertumbuhan ekonomi nasional, hal tersebut menunjukkan bahwa secara makro pembangunan sektor perikanan mulai memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional (Haris 2019). Sementara itu, terlihat bahwa kontribusi nilai ekspor udang beku terhadap total nilai ekspor perikanan tahun 2016 mencapai lebih dari 27% (Suriawan et al. 2019).
Pengembangan udang windu sangat penting karena merupakan udang asli Indonesia, pertumbuhannya cepat dan dapat mencapai ukuran yang besar. Meningkatnya produksi udang karena beberapa hal, antara lain: hama penyakit telah dapat dikendalikan, permintaan pasar sangat besar, dan tidak adanya kuota yang ditetapkan oleh negara pengimpor udang sehingga peluang ekspornya masih sangat besar.Â
Udang windu dapat mencapai ukuran relatif besar dan ideal untuk diolah menjadi tempura, sehingga sangat mendorong permintaan pasar Jepang. Baru-baru ini udang windu mendapat perhatian khusus dari konsumen di Eropa sebagai udang ekstensif yang kualitasnya mendekati udang organik.Â
Oleh karena itu, pengembangan budidaya udang windu menjadi sangat penting meskipun penerapannya dengan teknologi sederhana atau ekstensif. Pengembangan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan optimal apabila mengikuti standarisasi atau regulasi yang telah ditetapkan terkait dengan kegiatan input dari produksi udang windu itu sendiri (Dananjaya dan Wahyujati 2012).
 PEMBAHASAN
 Regulasi Produksi Udang Windu Penaeus monodon
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 75/PERMEN-KP/2016 tentang pedoman umum pembesaran udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu regulasi yang menjadi standarisasi dalam pelaksanaan budidaya udang vaname dan udang windu.Â
Pedoman umum pembesaran udang windu dan udang vaname ini berperan sebagai acuan dalam melakukan pembesaran udang windu dan udang vaname yang berorientasi pada peningkatan produksi, daya saing, dan berkelanjutan. Beberapa standarisasi yang ditetapkan yaitu berupa syarat pemilihan lokasi, prasarana dan sarana dalam berbudidaya, teknologi pembesaran udang, hingga pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan.
Pemilihan Lokasi Produksi Udang Windu Penaeus monodon
Kegiatan pembesaran udang diawali dengan penentuan lokasi untuk mendukung kebutuhan biologis udang yang dipelihara. Sebelum memenuhi daya dukung tersebut, perlu dilakukan pemilihan lokasi yang tepat.Â
Pemilihan lokasi dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kelayakan suatu lahan untuk kontruksi tambak dan operasional, mengindentifikasi kemungkinan dampak negatif dari pengembangan lokasi dan akibat sosial yang ditimbulkannya, memperkirakan kemudahan teknis dengan finansial yang layak, dan meminimalkan timbulnya risiko yang lain.Â
Lokasi yang dipilih merupakan areal yang digunakan untuk pembesaran udang dan dikembangkan sebagai sentra pembesaran udang dalam bentuk kluster. Pemilihan lokasi pembesaran udang dimaksudkan untuk menjamin keselarasan lingkungan antara lokasi pembesaran udang dengan pembangunan wilayah dan keadaan sosial di lingkungan sekitarnya.
 Lokasi pembesaran udang berupa tambak harus memenuhi persyaratan seperti penetapan lokasi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, kelengkapan master plan dan Detail Engenering Design (DED) untuk lokasi pembesaran udang dalam bentuk kluster, memiliki air sumber (Tabel 3), air pemeliharaan (Tabel 4), dan tanah yang mencukupi dan berkualitas baik sesuai yang dipersyaratkan, tidak membangun tambak baru pada lahan mangrove dan zona inti kawasan konservasi, berada pada kawasan terhindar dari banjir rutin dan pengaruh pencemaran limbah bahan beracun dan berbahaya, berada di belakang sempadan pantai dan sempadan sungai, konstruksi infrastruktur harus mempertimbangkan fungsi konservasi dan meminimalisir gangguan terhadap lingkungan sekitar, tersedianya prasarana transportasi dan komunikasi yang memadai, serta memiliki tekstur tanah sesuai persyaratan teknis yang mendukung pertumbuhan pakan alami, kualitas air untuk media hidup udang, dan mampu menahan volume air tambak atau tidak bocor.
Selain dari peraturan menteri KKP, beberapa regulasi lainnya dalam ketentuan pemeliharaan udang windi juga diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut Dananjaya dan Wahyujati (2012) SNI adalah dokumen berisi ketentuan teknis  terkait konsolidasi iptek dan pengalaman, aturan, pedoman, atau karakteristik dari suatu kegiatan yang hasilnya dirumuskan secara konsensus untuk menjamin suatu standar dapat menjadi kesepakatan pihak yang berkepentingan dan berlaku di seluruh wilayah nasional oleh BSN untuk dipergunakan oleh pemangku kepentingan dengan tujuan mencapai keteraturan yang optimum ditinjau dari konteks keperluan tertentu. Ketentuan pengelolaan air media pemeliharaan udang windu juga diatur dalam SNI 8038.1:2014.Â
Regulasi tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan air media pemeliharaan dapat dilakukan dengan melakukan pergantian air tambak sebanyak 3-5% dari volume total air setiap harinya. Apabila kecerahan air lebih rendah dari 30 cm dapat diganti air maksimal 30% dari volume total dengan patokan warna air yang ideal yaitu hijau kecoklatan. Ketentuan parameter kualitas air media pemeliharaan udang windu dapat dilihat pada Tabel 4.
Sarana dan Prasarana dalam Pembesaran Udang Windu
Menururt Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 75/PERMEN-KP/2016 tentang pedoman umum pembesaran udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Litopenaeus vannamei), prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung pembesaran udang sesuai dengan persyaratan teknis yang dibutuhkan, yaitu desain dan tata letak tambak atau wadah dan saluran air dibangun dengan prinsip untuk mendapatkan air dengan kualitas baik dan mencegah penyebaran penyakit. Selain itu, saluran air masuk (inlet) dan saluran air buang (outlet) harus terpisah atau dalam hal hanya terdapat satu saluran harus memiliki fungsi spesifik air masuk atau air buang.Â
Desain dan tata letak bangunan, serta jalan produksi juga harus ditata dengan tujuan meningkatkan efisiensi, menjaga kualitas produk, dan mencegah pencemaran lingkungan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 75/PERMEN-KP/2016 juga menetapkan bahwa sarana yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan pembesaran udang di tambak dan KJA, yaitu benih udang yang berasal dari unit pembenihan yang bersertifikat cara pembenihan ikan yang baik dan memiliki surat keterangan sehat dari instansi yang berwenang. Pakan buatan, obat, dan pestisida harus terdaftar di kementerian dan digunakan sesuai petunjuk penggunaan.Â
Pupuk yang digunakan harus memenuhi standar persyaratan keamanan pangan dan lingkungan dan digunakan sesuai petunjuk penggunaan. Alat dan mesin yang digunakan untuk pembesaran udang terbuat dari bahan yang ramah lingkungan, tidak beracun, dan bebas penyakit.
Kegiatan Produksi Udang Windu
Menurut SNI 8038.1:2014, produksi induk merupakan standar yang disusun untuk digunakan oleh pembenih, pembudidaya, pelaku usaha, instansi, dan stakeholder lainnya yang membutuhkan, serta digunakan untuk pembinaan mutu dalam rangka sertifikasi da kegiatan usaha pembenihan. Kegiatan produksi dalam budidaya pembesaran udang windu dapat berupa persiapan wadah pemeliharaan, persiapan tandon biofilter, pemeliharaan udang melalui tahap pemindahan (sistem modular), pengelolaan pakan selama pemeliharaan udang, pengelolaan air media pemeliharaan, pengelolaan air limbah, monitoring kesehatan udang, hingga kegiatan panen.Â
Apabila persyaratan dari kegiatan pra produksi hingga produksi telah terpenuhi dan dilaksanakan sesuai regulasi yang ada, maka akan dihasilkan indukan dari udang windu yang memiliki kriteria ideal seperti pada Tabel 5 yang ditetapkan berdasarkan SNI 01-6142-2006.
Kegiatan Panen Udang Windu
Indukan udang windu yang telah memenuhi kriteria kuantitatif induk hasil budidaya sudah dapat dilakukan panen. Menururt Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 75/PERMEN-KP/2016 tentang pedoman umum pembesaran udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Litopenaeus vannamei), udang windu segmentasi pembesaran pada sistem monokultur dapat dilakukan pemanenan apabila sesuai dengan ketentuan berikut, yaitu masa pemeliharaan sekitar 120 hari, dengan udang berukuran 20 - 40 g/ekor atau marketable size, produktivitas 100-300 kg/hektare.Â
Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari dan dilakukan secara hati-hati dan cepat. Sementara itu, panen pada sistem polikultur udang windu, bandeng, dan rumput laut dapat dilakukan apabila sesuai dengan kriteria berikut, yaitu masa pemeliharaan 120 hari dengan ukuran udang 20-40 g/ekor atau marketable size, dengan produktivitas udang 100-300 kg/hektare, bandeng 300 kg/hektare, rumput laut basah 2.000 kg/hektare.
 Regulasi terkait produksi dan input produksi udang windu digunakan dengan tujuan sebagai pedoman umum pembesaran udang windu dan udang vaname.Â
Standarisasi ini juga berperan sebagai acuan dalam melakukan pembesaran udang windu dan udang vaname yang berorientasi pada peningkatan produksi, daya saing, dan berkelanjutan. Penerapan regulasi yang dilakukan dengan baik dapat mewujudkan kebijakan pembangunan dan pembesaran udang windu yang lebih terarah dan operasional sesuai dengan wilayah peruntukannya, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, serta dapat meningkatnya produksi dan produktivitas pembesaran udang windu, pendapatan pembudidaya ikan, dan penerimaan devisa negara dari ekspor.
 DAFTAR PUSTAKA
Â
Dananjaya I, Wahyujati A. 2013. Peningkatan daya saing produk lokal dalam upaya standardisasi memasuki pasar global (standardisasi mutu dan kualitas udang windu). UG Journal. 6(2): 9-15.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2022. Data volume ekspor udang di Indonesia. https://statistik.kkp.go.id/ [Diakses 7 Juni 2022].
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2021. Data volume produksi udang di Indonesia. https://statistik.kkp.go.id/ [Diakses 7 Juni 2022].
Rosnizar R, Fitria F, Devira CN, Nasir M. 2018. Identifikasi dan prevalensi jenis-jenis ektoparasit pada udang windu (Penaeus monodon) berdasarkan tempat pemeliharaan. Jurnal Bioleuser. 2(1): 12-19.
Suriawan A, Efendi S, Asmoro S, Wiyana J. 2019. Sistem budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei pada tambak HDPE dengan sumber air bawah tanah salinitas tinggi di Kabupaten Pasuruan. Jurnal Perekayasaan Budidaya Air Payau dan Laut. 14: 6-14.
Syukri M, Ilham M. 2016. Pengaruh salinitas terhadap sintasan dan pertumbuhan larva udang windu (Penaeus monodon). Jurnal Galung Tropika. 5(2): 86-96.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H