Thudong dan Pindapata
Halaman Klenteng yang dibangun tahun 1684 tampak ramai. Orang-orang berbaju putih berdiri berjajar seperti membentuk pagar. Beberapa lagi sibuk berjalan ke sana-kemari. Tak lama, beberapa perempuan menabur bunga sebagai penanda jalan yang akan dilalui para Biksu. Leganya karena saya belum benar-benar terlambat.
Tidak lama kemudian, dua orang laki-laki dan perempuan berjalan memasuki halaman Klenteng. Keduanya memakai pakaian tradisional Tiongkok berwarna merah dengan aksen emas. Pakaiannya indah sekali.
"Ini pakaian pengantin Cina, barangnya dibeli di Cina," aku laki-laki itu sembari memperlihatkan bordiran pada pakaian yang dikenakannya.
"Bagus sekali," balas saya sambil mengamati kedua pakaian tradisional itu.
Sayangnya perbincangan harus diakhiri karena rombongan para biksu hampir tiba. Beberapa detik kemudian, seorang biksu berjalan memasuki halaman. Di belakangnya para biksu berjalan dengan langkah cepat. Mereka menggunakan kasaya dan membawa payung serta patta (bakul kecil) yang tersimpan dalam tas berbentuk khusus. Para umat Budha yang telah menunggu segera menghaturkan salam.
Para biksu yang berasal dari Indonesia dan Thailand itu tengah melakukan prosesi Pabbaja Samanera. Kegiatan ini diinisiasi oleh Majelis agama Buddha Mahanikaya Indonesia (MBMI) bekerjasama dengan Boen Tek Bio melaksanakan prosesi Thudong pertama di Kota Tangerang. Diikuti oleh 230 anggota Bhikku Sangha dan Samanera dan 180 Atthasilani.
Para Biksu berjalan dari Sekolah & Universitas Buddhi Dharma Tangerang menuju Klenteng Boen Tek Bio. Setelah bersembahyang mereka akan kembali menjalani prosesi Pindapata dengan menyusuri Jalan di tepi Sungai Cisadane.
Di sepanjang jalan para Umat Budha sudah menunggu. Mereka menyiapkan berbagai bahan makanan untuk diberikan kepada para Biksu. Sambil bersimpuh dan membuka sandal, para Umat Budha memasukan bahan makanan ke dalam patta.
Saya hanya mengikuti dan menyaksikan proses Thudong hingga ujung jembatan Sungai Cisadane. Para Biksu masih akan terus melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Sekolah Buddhi Dharma. Mereka berjalan dalam diam sambil bermeditasi. Meski panas, haus, dan lapar para Biksu akan terus menjalani prosesi hingga selesai.