Mohon tunggu...
Utari ninghadiyati
Utari ninghadiyati Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger, kompasianer, penggiat budaya

Menjalani tugas sebagai penggiat budaya memberi kesempatan untuk belajar berbagai budaya, tradisi, seni, dan kearifan lokal masyarakat. Ragam cerita ini menjadi sumber untuk belajar menulis yang dituangkan di kompasiana dan blog www.utarininghadiyati.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Filosofi Cireng

26 Juli 2024   19:55 Diperbarui: 26 Juli 2024   19:57 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cireng bumbu rujak (dok. Pribadi)

Ada filosofi dalam sebuah cireng. Panganan sederhana yang mengugah selera namun dapat mengeratkan hubungan pertemanan.

Pagi telah tiba. Seperti kebanyakan orang, saya pun sudah bersiap-siap menuju tempat tugas. Tas punggung berisi laptop dan telepon gengam sudah memeluk dari belakang. Kali ini di dalam tas tidak ada seragam kebesaran, yang hanya dimiliki segelintir orang, berwarna biru dengan lambang Tut Wuri Handayani. Untuk hari ini saya menggenakan kaus saja agar mudah dalam bekerja. Rencananya, saya dan teman-teman akan kerja bakti membersihkan ruang kerja.

Bersama mentari yang bersinar indah, saya menuju tempat tugas dengan menggunakan sepeda. Perjalanan hari ini ternyata berbeda, pedal sebelah kiri tiba-tiba terlepas. Akhirnya menepi sejenak dan memasang baut agar bisa mencapai bengkel sepeda terdekat. Situasi istimewa ini membuat perjalanan menjadi lebih lambat. Tidak apa, saya jadi bisa memerhatikan keadaan sekitar dengan lebih baik.

Sesekali berhenti untuk mengecek keadaan pedal. Mengowes kembali hingga melewati bengkel sepeda yang tutup. Ya sudah, lanjutkan saja perjalanan dengan lebih hati-hati. Untung jarak tempat tinggal dengan tempat tugas tidak jauh, saya pun dapat sampai dengan aman dan selamat.

Meski mengalami kendala di jalan, ternyata pintu tempat tugas baru saja dibuka. Teman-teman baru saja kembali dari apel pagi. Dengan tangan berhias oli, saya kembali berupaya menguatkan baut pedal. Baru setelah itu bersama-sama membersihkan ruang kerja.

Namanya kerja bersama tentu pekerjaan bersih-bersih cepat selesai. 30 menit kemudian, seluruh ruangan sudah bersih. Rumput di halaman pun sudah berpindah ke tempat sampah. Menyatu dengan sampah plastik dan kertas. 

Cireng

Selesai membersihkan ruangan, tentu sangat mengayikan jika ada panganan atau camilan. Beruntung seorang teman sudah menyiapkan camilan berupa cireng beku. Dalam kemasan cireng terlihat kemasan plastik berisi sambal rujak. Rasanya tak sabar untuk menikmatinya.

Seorang rekan kerja sepertinya tahu kalau kami semua menginginkan cireng. Segera saja kompor dinyalakan dan wajan berisi minyak ditaruh di atasnya. Satu persatu makanan berwarna putih itu masuk ke dalam wajan. Bentuknya yang pipih, pelan-pelan mengembung seperti balon. Warna putihnya berubah menjadi lebih bening. Ada retakan-retakan di dekat tepi cireng. Menandakan di sinilah bagian paling krunci dari jajanan yang dijual dengan harga terjangkau.

Dalam satu bungkus plastik, ada 20 buah cireng mentah. Untuk kami yang suka kudapan tentu jumlah cireng harus dilipatgandakan. Apalagi tenaga habis terkuras untuk membersihkan ruangan kerja. Entah berapa plastik cireng yang digoreng. Tahu-tahu sudah ada dua piring besar berisi cireng goreng munjung.

Filosofi Cireng

Suara-suara pun terdengar. Beberapa rekan memanggil rekan yang berada di lantai dua untuk turun. Sudah saatnya menikmati cireng yang baru saja digoreng. Satu persatu warga tempat tugas datang. Kami berkumpul sambil duduk di lantai. Lingkaran kami mengelilingi dua piring berisi cireng panas.

Benar-benar panas karena jajanan itu baru saja diangkat dari wajan. Meski kami semua tahu, tetap saja tangan-tangan meraih jajanan tradisional itu sambil bergurau. Lelucon dan celoteh yang dilontarkan begitu saja mampu mengundang tawa. Memecah sekat jabatan yang ada.

Kami seperti jajanan yang ditenggarai dari Jawa Barat dalam piring. Semua sama bentuk dan rupanya. Sama-sama renyah di luar namun kenyal di dalam. Jika ditarik, dari sisi mana pun, tidak akan langsung terpisah dengan mudah. Ada bagian yang seakan menarik bagian lain hingga benar-benar terputus. Kerenyahannya membuat keinginan untuk tetap menikmatinya tidak terhenti, mau lagi dan lagi. Kerenyahan itu serupa canda, tawa, kelakar, dan guyonan yang kerap terucap antara kami. 

Cireng memang sederhana, terbuat dari tepung aci atau tepung kanji yang diberi irisan daun bawang serta bumbu sederhana. Diuleni sedemikian rupa agar bisa dibentuk. Agar tahan lama, cireng-cireng ini dibekukan. Proses ini membuat cireng dapat melanglang buana dan hadir diberbagai tempat.

Memberikan kehangatan dan melekatkan hubungan penikmat cireng. Bukan tidak mungkin sebuah hubungan yang tidak lagi sama dapat berubah menjadi lebih baik berkat cireng. Seperti secangkir kopi, cireng pun mampu mencairkan suasana yang dingin. Mengundangnya untuk menikmati kebersamaan itu kembali. Lagi dan lagi.

Begitulah pendapat saya mengenai filosofi cireng yang renyah dan kenyal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun