Filosofi Cireng
Suara-suara pun terdengar. Beberapa rekan memanggil rekan yang berada di lantai dua untuk turun. Sudah saatnya menikmati cireng yang baru saja digoreng. Satu persatu warga tempat tugas datang. Kami berkumpul sambil duduk di lantai. Lingkaran kami mengelilingi dua piring berisi cireng panas.
Benar-benar panas karena jajanan itu baru saja diangkat dari wajan. Meski kami semua tahu, tetap saja tangan-tangan meraih jajanan tradisional itu sambil bergurau. Lelucon dan celoteh yang dilontarkan begitu saja mampu mengundang tawa. Memecah sekat jabatan yang ada.
Kami seperti jajanan yang ditenggarai dari Jawa Barat dalam piring. Semua sama bentuk dan rupanya. Sama-sama renyah di luar namun kenyal di dalam. Jika ditarik, dari sisi mana pun, tidak akan langsung terpisah dengan mudah. Ada bagian yang seakan menarik bagian lain hingga benar-benar terputus. Kerenyahannya membuat keinginan untuk tetap menikmatinya tidak terhenti, mau lagi dan lagi. Kerenyahan itu serupa canda, tawa, kelakar, dan guyonan yang kerap terucap antara kami.Â
Cireng memang sederhana, terbuat dari tepung aci atau tepung kanji yang diberi irisan daun bawang serta bumbu sederhana. Diuleni sedemikian rupa agar bisa dibentuk. Agar tahan lama, cireng-cireng ini dibekukan. Proses ini membuat cireng dapat melanglang buana dan hadir diberbagai tempat.
Memberikan kehangatan dan melekatkan hubungan penikmat cireng. Bukan tidak mungkin sebuah hubungan yang tidak lagi sama dapat berubah menjadi lebih baik berkat cireng. Seperti secangkir kopi, cireng pun mampu mencairkan suasana yang dingin. Mengundangnya untuk menikmati kebersamaan itu kembali. Lagi dan lagi.
Begitulah pendapat saya mengenai filosofi cireng yang renyah dan kenyal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H