Pagi yang masih diselimuti kabut asap, sebenarnya membuat malas keluar rumah. Tetapi, stok bahan makanan sudah menipis membuat saya memutuskan untuk ke pasar.
Udara yang tak nyaman membuat saya harus kembali menggunakan masker. Baru setelah itu pergi ke pasar yang jaraknya sekitar 2 km.
Entah karena asap atau hari minggu yang membuat banyak orang memundurkan aktivitasnya sehingga jalan terlihat lebih sepi.
Keadaan di jalan sepertinya menukar dengan suasana di pasar yang tak terlalu ramai. Kondisi ini memungkinkan sata untuk mengamati para pedagang yang asyik bercakap-cakap.
Mendengar celotehnya yang ramai membuat saya kerap menggulum senyum. Mungkin ini cara mereka membunuh sepi karena pembeli tak terlalu banyak.
Sambil berkeliling saya melihat seroang ibu berjalan berkeliling sambul membawa tampah plastik berukuran sedang.
Tanpa bicara, ibu tadi berhenti di depan tiap lapak pedagang dan mengangsurkan tampah yang dibawanya. Sepertinya tak banyak yang membeli makanan yang dijajakannya.
Penasaran, saya berjalan menghampirinya lalu menanyakan makanan yang dibawanya.
"Lemet," jawabnya lembut.
Saya membeli beberapa makanan yang dijual seharga Rp1.000. Murah meriah namun mengenyangkan.Â
Singkong dan gula merah
Sesampainya di rumah, saya menikmati makanan tradisional dengan segelas teh hangat.Â
Ketika daun pembungkusnya dibula, terlihat adonan yang berwarna cokelat pucat.
Hm, warna pucat menandakan gula merah yang digunakan tidak banyak. Benar, ketika saya mencicipi rasanya tidak terlalu manis. Sesuai dengan selera saya yang tak suka manis.
Sambil menikmati camilan, saya teringat almarhum Ibu yang suka membuat makanan ini. Sederhana kok, hanya membutuhkan singkong, gula merah serta sejumput garam  dan ditambahi oleh parutan kelapa.Â
Adonan ini diaduk hingga rata baru kemudian di ungkus daun pisang. Untuk mematangkannya cukup dengan mengukusnya selama beberapa saat hingga matang.
Beragam nama
Makanan tradisional yang sarat dengan kenangan ini saya unggah di media sosial. Bukan karena ingin flexing, tetapi ingin berbagi kisah bahwa makanan tradisional ini juga ada di tanah Kalimantan.
Ibu yang menjual makanan ini menyebutnya dengan lemet. Bisa jadi beliau berasal dari Jawa.
Saya sendiri menyebutnya ketimus atau timus karena daerah tempat saya besar dulu ada di Jawa Barat.
Sementara teman yang tinggal di Sumatera Utara menyebutnya cimpa, meski kadang menyebutnya timus karena besar di tanah sunda, seperti saya.
Saya rasa ada nama lain untuk lemet di daerah lain. Bayangkan makanan tradisional ini dinikmati oleh masyarakat di Indonesia. Meski namanya berbeda tapi sama nikmatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H