Sesekali saya melirik jam di Hp. Sebentar lagi pukul 10.30 Wita, sementara acara temu manten belum usai. Pukul 12.00, saya sudah harus sampai di Kampung Pumpung untuk menghadiri acara maantar jujuran.
Dari Landasan Ulin butuh waktu 30 menit karena harus melewati kawasan perkantoran gubernuran, itu rute paling dekat. Sementara saya bukan tipe penggendara yang bisa memacu motor dengan kecepatan tinggi.
Mendekati pukul 11.00 acara pernikahan adat jawa ini mulai selesai. Bergegas menghampiri tuan rumah dan beberapa orang yang saya kenal untuk berpamitan. Lalu melaju menuju Kampung Pumpung. Semoga warga belum berkumpul, gumam saya dalam hati.
30 menit kemudian, saya tiba di depan rumah. Tikar dan terpal telah menutupi lantai bagian depan. Sementara bagian dalam tertutup oleh karpet.
Saya memarkir motor di halaman depan tetangga pemilik hajat, sesuai arahan Pak Ruslan, pemilik hajat. Lalu masuk ke dalam.
Sulada
Beberapa orang Ibu terlihat sibuk menyiapkan masakan. Dua orang memotong ketupat. Seorang ibu memarut timun. Lainnya menyiapkan piring dan alat untuk menyusun piring.
Saya tidak ikut membantu karena harus menanyakan beberapa hal seputar acara meantar jujuran. Sambil berbincang, jemari saya sibuk menari di atas layar ponsel. Mengisi bagian-bagian data, sesuai dengan jenis data yang saya input. Begitulah tugas harian yang saya kerjakan selama menjadi penggiat budaya. Pendataan hanya salah satu tugas dari 3 tugas utama.
Namun saya tidak mau membahas pekerjaan, melainkan masakan khas yang baru kali ini saya rasakan.
Melihat dandang besar di halaman samping, saya menduga soto banjar adalah hidangan yang akan dihidangkan. Ternyata salah.
Rupanya sajian dalam piring yang berisi potongan ketupat berkuah coklat agak pekat itu bukan soto banjar. Memang ada irisan telur, namun ketika di aduk sama sekali tidak ada soun dan suwiran daging ayam.
Melihat saya mengaduk makanan dalam diam, istri Pak Ruslan tertawa. Dia tahu saya penasaran dengan masakan tersebut sebab harum soto begitu memanjakan indra penciuman.
Namun saat saya mencecap kuahnya, rasa dominan yang muncul adalah manis. Lalu seperti ada helaian tipis dalam kuah. Mungkin saja helaian itu berasal dari irisan bawang bombay.
Ini bukan soto banjar, jerit saya dalam hati. Lalu apa?
Tiba-tiba sebuah istri Pak Ruslan melontarkan pertanyaan, apakah saya pernah mendengar sulada.
Kening saya berkerut. Nama yang asing. Meski setiap hari wara-wiri di daerah Banjarbaru, saya belum mendengar kata tersebut.
Ternyata sulada adalah nama makanan yang ada di hadapan saya.
Saya tidak salah seratus persen ketika menerka bahwa masakan yang disajikan adalah soto banjar. Namun ini adalah sisi lain dari soto banjar.
Ayam kare
Mengapa? Karena sulada terbuat dari kuah soto banjar namun saat disajikan tidak menggunakan soun.
Bahan makanan yang terbuat dari tepung singkong atau pati kacang hijau ini digantikan oleh parutan ketimun yang tadi terlihat seperti irisan bawang bombay.
Lalu suwiran ayam digantikan oleh potongan ayam yang dimasak dengan bumbu kare. Tak heran jika tadi rasa manis menguasai indra perasa.
Sentuhan soto banjar tentu masih terasa berkat kehadiran kuah soto dan irisan telur ayam.
Lantas mengapa hidangan ini diberi nama sulada? Rupanya nama masakan berasal dari alat yang digunakan untuk menyerut ketimun, sulada.
Hmm, bahagianya saya karena mendapat pengetahuan baru masakan banjar dan perut yang kenyang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H