Sebuah papan jalan bertuliskan benteng ke kanan, sukses menghentikan laju motor. Di situ kami sadar kalau nyasar.Â
Betul saja, pas cek di peta, letak makam tidak jauh dari jl. Martapura lama. Ini jalan tempat rumah tradisional banjar di telok selong.Â
Ya wis, putar balik saja. Melaju lagi di jalan yang belum lama di aspal ulang. Lihat padi yang menguning. Lihat padi dijemur di atas tikar atau terpal. Lihat toko yang menawarkan bolu gulung. Lihat sungai martapura di kiri jalan.Â
Hingga akhirnya melewati jembatan martapura yang tengah diperbaiki. Belok kanan lalu ikuti jalan. Melewati rumah tradisional banjar di telok selong. Lurus menyeberangi jembatan.Â
Jembatannya ekstrem lho. Jangan coba-coba ngebut karena jembatan cukup tinggi dan terlalu dekat dengan badan jalan. Di sisi seberang malah langsung berbelok tajam ke kiri dan ke kanan.Â
Ikuti google map dong yang meminta berbelok ke kiri. Ada sebuah gapura bertuliskan makam Sultan Inayatullah, tapi ketika diikuti yang terlihat justru pemakaman warga.
Seingat Ibu Laila, makam sultan berada ditepi jalan besar. Tidak masuk ke dalam gang.Â
Puter lagi, anggap saja uji kemampuan menebak. Kali ini memilih jalan terus melewati gapura.Â
Menyusuri sungai saja. Terus sampai ketemu jembatan besi lagi. Dan, makam sang sultan terletak tak jauh dari ujung jembatan.Â
Benar ada di tepi jalan. Sebuah papan nama besar jadi penanda. Yes, mari melihat nisannya.Â
Bentuknya serupa nisan di Aceh. Terlihat ada ukiran seperti kubah masjid. Lalu bulatan. Tanpa tulisan lainnya. Atau mungkin dulu ada, namun tak terlihat akibat sapuan cat.Â