Naik-naik ke puncak gunung, naik terus dong. Melewati pemandian Belanda yang ramai. Kemudian melewati lapangan tenis yang sudah tak terpakai namun masih terawat baik. Hanya ruang ganti yang hancur dan dipagari agar tak ada pengunjung ke sana.
Perjalanan dilanjutkan terus sampai puncak. Rupanya di situ ada sanatorium yang kerap dibilang rumah Belanda. Ada empat rumah. Rumah paling kecil difungsikan menjadi mushola. Rumah kedua, saya tidak tahu berfungsi sebagai apa karena tertutup. Hanya papan bertuliskan pesanggrahan yang ada di depannya.Â
Rumah ketiga letaknya tidak jauh dari rumah besar atau sanatorium dan dijadikan ruang pertemuan. Terakhir adalah sanatorium. Bangunan paling besar ini dulunya dipakai untuk merawat pasien sekaligus ruang dokter.Â
Meski ukuran rumah berbeda namun material dan bentuknya sama. Bagian bawah bangunan berwarna putih dan disusun dari batu andesit. Semenyara bagian atas yang berwarna cokelat terbuat dari kayu ulin. Pada bagian atap terlihat penangkal petir berwarna cokelat. Semuanya terlihat begitu nyaman.
Kebayang dong suasananya seperti apa, dingin, sejuk, teduh, sepi, dan tenang. Pasti nyaman banget ya menghabiskan waktu dengan membaca buku, beristirahat, jalan-jalan, dan kalau bisa menulis. Kalau saat ini agak ramai karena banyak pengunjung.Â
Perjalanan kami berakhir di sini. Tidak ada lagi jalan yang bisa di daki. Dari atas sini saya dan si kecil bisa melihat perbukitan dan waduk riam kanan di kejauhan. Wah asyik banget deh. Benar-benar waktu yang menyenangkan. Bisa menikmati alam bersama yang tersayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H