Siang itu cukup terik, namun saya tetap berkendara menuju sebauh sekolah di daerah Kemuning Kota Banjarbaru.Â
Jalanan cukup lengang. Pasar yang saya lewati mulai sepi.Â
Mendekati bangunan sekolah, jalanan terlihat berdebu. Rupanya ada penggalian lubang untuk gorong-gorong.
Galian ini menutupi jalan masuk ke sekolah. Mau tak mau harus mencari jalan lain agar bisa sampai di sekolah.Â
Akhirnya berhasil juga memasuki gerbang setelah berputar. Sayang, Pak Saladeri yang akan saya temui sudah pensiun.Â
Beliau seorang guru sekaligus pelatih kesenian wayang gong di sekolah i i. Satu-satunya grup kesenian banjar yang ada di Kota Banjarbaru.
Di antar seorang staf sekolah, saya menuju rumah Pak Saladeri. Akhirnya saya bisa berjumpa dengan seorang penjaga tradisi kesenian banjar.
Pria kelahiran Kandangan itu tersenyum mengetahui kedatangan saya. Ia tidal keberatan berbagi cerita tentang kegiatan yang sangat disukainya namun terpaksa tak dapat dilakukan lagi.
Penyakit yang dideritanya memaksa Pak Saladeri untuk mengurangi aktivitas. Indikasi saraf terjepit membuatnya tidak dapat berjalan jauh dan berdiri lama.Â
Meski demikian bara dalam semangatnya tidak padam, ia berharap bisa terus menjaga suluh tradisi yang dinyalakannya sejak puluhan tahun lalu.
Kisahnya dimulai ketika muda. Sebagai warga Kandangan yang memiliki jiwa seni dan berprofesi sebagai pengajar, Ia terpanggil untuk mengajarkan tradisi yang dicintainya pada generasi berikut.
Wayang gong memang tumbuh dan berkembang di daerah Hulu Sungai. Belum diketahui awal mula kesenian dimainkan oleh masyarakat banjar.Â
Profesinya seakan memberinya kemudahan untuk mewujudkannya. Melalui kegiatan ekstra kurikuler, Pak Saladeri mulai mengenalkan wayang gong pada murid-muridnya.
Secara rutin mereka berlatih kesenian wayang orang banjar. Berlatih tarian dan dialog agar bisa menjiwai peran yang dimainkan.
Berbeda dengan wayang orang dari Jawa, wayang gong menampilkan kisah-kisah Ramayana. Para pemain akan memainkan cerita sembari menari.
Sebagai pelengkap para pemain akan menggunakan katopong atau topi sesuai karakter yang dimainkan. Katopong ini juga pembeda dengan wayang orang.
Berbeda dengan daerah lain, kesenian wayang gong di Kota Banjarbaru seperti mati suri, terutama sejak Pak Saladeri tidak lagi bisa mengajar.
Proses pembelajaran dan upaya regenerasi memang di upayakan, namun terkendala pada kurang berminatnya masyarakat pada kesenian ini.
Melalui kegiatan ekstra kurikuler uoaya pengenalan, pembelajaran, dan meneruskan kesenian wayang gong memang bisa dilakukan meski untuk mencari murid yang berminat juga tidak mudah.
Sebagai seorang seniman wayang gong Pak Saladeri seperti kesepian. Mata terlihat sedih kala bercerita.
Ia berharap pandemi segera berakhir dan sekolah kembali dibuka. Harapnya, anak-anak bisa kembali mengikuti kegiatan esktra kurikuler. Sebab melalui keguatan ini suluh wayang gong bisa menyala.
Saya dan warga masyarakat Kota Banjarbaru bisa kembali menyaksikan pertunjukkan wayang gong, sebuah kesenian tradisi banjar yang patut dilestarikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H