Mohon tunggu...
Utari ninghadiyati
Utari ninghadiyati Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger, kompasianer, penggiat budaya

Menjalani tugas sebagai penggiat budaya memberi kesempatan untuk belajar berbagai budaya, tradisi, seni, dan kearifan lokal masyarakat. Ragam cerita ini menjadi sumber untuk belajar menulis yang dituangkan di kompasiana dan blog www.utarininghadiyati.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Berkunjung ke Kelenteng Suci Nurani Banjarmasin

21 Februari 2021   20:57 Diperbarui: 21 Februari 2021   21:08 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imlek tahun ini terasa sangat sepi. Melalui televisi, saya tahu jika perayaan imlek sama sekali berbeda dengan tahun lalu. Tepatnya, tahun ini tidak ada perayaan imlek agar tidak ada massa yang berkumpul. Namun demikian, ingatan saya masih sangat lekat saat mengunjungi Kelenteng Suci Nurani di Banjarmasin. Sudah lama saya "mengincar" bangunan indah ini. Hingga akhirnya kesempatan itu tiba, saya merasa sangat-sangat bahagia.

1 jam perjalanan

Entah sudah berapa kali saya melewati bangunan bercat merah itu, tanpa punya keberanian untuk masuk. Dari luar saya hanya bisa mengagumi keindahannya. Melihat ukiran-ukiran yang terdapat di tiang penyangga atap depan. Naga-naga besar itu seperti menjaga Kelenteng Suci Nurani dari segala hal yang tak baik.

Meski beberapa kali lewat, sebenarnya letak rumah saya cukup jauh dari Kelenteng yang berada di jalan Veteran Banjarmasin. Saya bermukim di kota Banjarbaru yang lumayan jauh.

Jika dilihat di peta, jaraknya mencapai 32 km atau jika dihitung dengan satuan jam memerlukan waktu 60 menit perjalanan dengan motor. tentunya kendaraan tidak dipacu seperti tengah mengikuti lomba, cukuplah kecepatan 50 hingga 60 km per jam.

Untuk menuju ke sana, sangat mudah. Tinggal mengikuti jalan utama hingga bertemu jembatan besar yang melintang di atas sungai Martapura. Karena tidak boleh langsung berbelok ke kanan, mau tak mau harus menyeberang lalu putar balik dan menuju Kelenteng Suci Nurani.

Nyasar yang tidak nyasar

Lucunya ketika saya ingin berkunjung ke Kelenteng, justru tersasar ke Kelenteng lain yang berada di kawasan Pasar Sudimampir. Waktu itu saya cuma berkeinginan melihat bangunan cagar budaya yang ada di Kota Banjarmasin. Nah, dari daftar yang saya peroleh, Kelenteng Po An Kiong yang ada di Pasar termasuk bangunan cagar budaya. Jadilah saya menuju ke sana.

Kelenteng Po An Kiong tidak terlalu besar dan berada di tepi jalan. Seluruh tembok bagian luar disapu cat berwarna merah dan kuning. Organemn di Kelenteng ini jauh lebih sederhana. Tidak ada ukiran naga, hanya pintu besar yang berlukiskan salah satu Dewa penjaga.

Setelah lebih dahulu meminta ijin, saya bisa meliha bagian dalam Kelenteng yang sepi. Terlihat beberapa altar sembahyang lengkap dengan guci besar yang terbuat dari kuningan. Bagian dalam guci terlihat sisa-sisa hio yang digunakan untuk sembahyang.

Ketika berdiri di dalam, saya merasa aura modernisasi begitu terasa. Seluruh ruangan sudah ditembok. Hampir dinding dilapisi keramik. Dalam hati saya sangsi bangunan ini termasuk bangunan cagar budaya, melihat kondisinya yang tidak lagi unik.

Pertanyaan itu terjawab setelah berbincang dengan seorang laki-laki yang tengah menjaga meja berisi peralatan sembahyang. Bangunan ini sudah berubah. Dia menyarankan saya untuk melihat Kelenteng Suci Nurani yang masih terjaga keasliannya. Seketika saya bersorak gembira (dalam hati).

Kelenteng Suci Nurani

Dari pasar, bersegeralah saya menuju Kelenteng Suci Nurani. Seperti halnya di kelenteng Po An Kiong, saya pun memilih untuk meminta ijin pada pengurus. Senangnya karena mereka mengijinkan bahkan menemani saya melihat ke dalam Kelenteng.

Bangunan yang berada di kawasan Pecinan ini terbuat dari kayu ulin. Penggunaan material kayu tampak jelas pada bagian dalam dan bangunanbesar di belakang Kelenteng. 

Sungguh bangunan yang indah. Bayangkan, meski terbuat dari kayu, bangunan yang dibangun 1 abad yang lalu masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik.

Begitu memasuki bagian dalam, saya mendapati pernak-pernik keperluan sembahyang seperti hio, lilin, dan uang kertas tak jauh dari pintu masuk. Seperti halnya Kelenteng Po An Kiong, pintu di Kelenteng Suci Nurani pun berhiaskan lukisan seorang Dewa penjaga.

Diseberang meja perlengkapang sembahyang ada sebuah altar besar. Berbagai macam buah-buahan disajikan di sana. Selain terdapat juga wadah besar untuk meletakkan hio. 

Ada sesuatu yang mengusik hati saya, mengapa bagian tengah ruangan ini seperti lebih rendah. Bentuknya kotak sesuai dengan lubang besar di atasnya. Meski telah ditutupi keramik, tak ayal tetap membuatnya berbeda.

Menurut pengurus setempat, perbedaan tinggi lantai di bagian tersebut disebabkan oleh fungsinya. Dahulu disanalah lilin besar diletakkan dan dibakar. Ukuran lilin ini memang wah karena bisa mencapai 2 meter. Bobotnya tentu luar biasa. Lilin yang diletakkan di san tidak hanya satu, bisa mencapai beberapa buah yang pasti membebani lantai hingga memengaruhi kayu penyangga lantai.

Untuk mengurangi beban, kini lilin tidak lagi diletakkan di sana, namun berdekatan dengan altar tempat menaruh buah dan makanan untuk sembahyang.

Pintu terkoyak rayap

Pelan-pelan saya mengalihkan perhatian pada altar-altar lain yang digunakan untuk sembahyang. Ada 3 altar besa, masing-masing dengan Dewa yang berada di ujung meja. Pada bagian depan altar terdapat sebuah wadah besar dari kuningan untuk menaruh hio sembahyang.

Ya ampun, altar itu dihiasi ukiran yang cantik. Lama saya memandangi altar dan segala perlengkapannya karena terpana dengan kehalusan ukirannya. Pandangan saya terhenti pada pintu kayu yang merupakan sekat antara patung para dewa dengan altar sembahyang.

dokpri
dokpri
Ukiran di pintu itu begitu halus. Saya kagum karena pintu kayu itu masih tetap berdiri dan menjadi saksi atas perjalanan manusia yang datang silih berganti.

Namun, siapa menyangka dibalik keindahan ukiran, ada binatang kecil yang menggerogoti. Rayap itu pelan-pelan merusak pintu kayu. Upaya perawatan tetap dilakukan agar tidak terjadi kerusakan yang lebih fatal.

dokpri
dokpri
Berjalan pelan dar altar ke altar membuat saya menyadari betapa bangnan ini memiliki nilai historis tinggi. Meski bau hio meruyak, tetapi bangunan ini tidak benar-benar ekslusif untuk warga Tionghoa. Siapa pun boleh masuk. 

Yinyang

Keistimewaan Kelenteng rupanya tidak hanya berada di bagian dalam. Pada bagian luar, tepatnya di halaman terdapat sebuah tiang yang terbuat dari kayu ulin.tiang berwarna hitam itu terlihat sedikit miring. kayunya tampak mulai melapuk. Bagian puncaknya terlihat pecah karena dimakan cuaca. Untuk menggantinya sangat sulit mengingat tiang dibuat dari satu batang pohon utuh. 

dokpri
dokpri
Hingga saat ini, tiang tersebut masih berdiri tegak dengan indah. ketika membelakangi, terlihatlah atap kelenteng berwarna cokelat kehitaman karena menggunakan sirap. Bilah-bilah kayu tipis itu disusun sedemikian rupa hingga benar-benar rapat.

Masih pada bagian atap, terdapat ukiran berbentuk naga. Ukiran ini masih belum mengalami perubahan dan sangat terawat. Sementara di halaman, tepat di atas paving block terlihat lukisan yin yang. Hal ini menandakan keseimbangan hidup.

Ah, sayang waktu berlalu begitu cepat, hingga saya harus mengakhiri kunjungan dan kembali ke rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun