Pertanyaan itu terjawab setelah berbincang dengan seorang laki-laki yang tengah menjaga meja berisi peralatan sembahyang. Bangunan ini sudah berubah. Dia menyarankan saya untuk melihat Kelenteng Suci Nurani yang masih terjaga keasliannya. Seketika saya bersorak gembira (dalam hati).
Kelenteng Suci Nurani
Dari pasar, bersegeralah saya menuju Kelenteng Suci Nurani. Seperti halnya di kelenteng Po An Kiong, saya pun memilih untuk meminta ijin pada pengurus. Senangnya karena mereka mengijinkan bahkan menemani saya melihat ke dalam Kelenteng.
Bangunan yang berada di kawasan Pecinan ini terbuat dari kayu ulin. Penggunaan material kayu tampak jelas pada bagian dalam dan bangunanbesar di belakang Kelenteng.Â
Sungguh bangunan yang indah. Bayangkan, meski terbuat dari kayu, bangunan yang dibangun 1 abad yang lalu masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik.
Begitu memasuki bagian dalam, saya mendapati pernak-pernik keperluan sembahyang seperti hio, lilin, dan uang kertas tak jauh dari pintu masuk. Seperti halnya Kelenteng Po An Kiong, pintu di Kelenteng Suci Nurani pun berhiaskan lukisan seorang Dewa penjaga.
Diseberang meja perlengkapang sembahyang ada sebuah altar besar. Berbagai macam buah-buahan disajikan di sana. Selain terdapat juga wadah besar untuk meletakkan hio.Â
Ada sesuatu yang mengusik hati saya, mengapa bagian tengah ruangan ini seperti lebih rendah. Bentuknya kotak sesuai dengan lubang besar di atasnya. Meski telah ditutupi keramik, tak ayal tetap membuatnya berbeda.
Untuk mengurangi beban, kini lilin tidak lagi diletakkan di sana, namun berdekatan dengan altar tempat menaruh buah dan makanan untuk sembahyang.
Pintu terkoyak rayap