Bule, begitu ia dinamai karena matanya yang berwarna biru terang. Kini bule sudah berubah nama menjadi Bejo karena seiring dirinya bertambah besar, matanya bertambah gelap. Suatu hal yang aneh menurut saya, namun mungkin hal itu biasa terjadi...saya pun tak tahu, tapi dia sehat-sehat saja sejauh ini.
Sebelumnya Bule, Zorro dan Bantet adalah tiga saudara yang tersisa dari ke delapan anak anjing yang dilahirkan dari induk betina yang bercorak hitam putih. Mereka adalah kesayangan komplek ruko mambo karena semua orang gemas melihat anak-anak anjing tersebut.
Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh besar dan makin nakal. Tenaganya pun makin kuat dan gigi serta kuku mereka makin tajam. Bule dan Zorro adalah dua anak anjing paling aktif, mungkin karena bantet sedikit kelebihan berat badan sehingga ia sulit untuk menjadi gesit.
Namun suatu ketika, saya hanya menemukan Bule dan Bantet yang berada disekeliling komplek. Kemana Zorro yang nakal namun lucu itu?
Ibu saya yang tadinya tidak suka anjing bisa juga tergugah ketika bercerita tentang Zorro. Suatu hari, siang hari bolong, ujarnya. Seorang penjaga ruko mambo sehabis mabuk merasa lapar rupanya, lalu ia memesan semangkuk Bakso. Ketika ia lengah sebutir Baksonya dicuri oleh si nakal Zorro. Anjing tersebut pun dikejarnya, setelah didapat lalu ia pukuli, tendangi, mirip seperti masa menghajar seorang maling hingga mati, namun anjing punya insting pertahanan diri yang kuat, dengan insting melawan yang dipunyainya, Zoro menggigit tuannya yang memukulinya dengan membabi buta. Namun manusia memang selalu punya tenaga yang luar biasa ketika marah, maka itu mereka pun bisa membunuh tanpa sengaja. Setelah digigit, tuannya yang marah itu kemudian mengangkat tubuh Zorro yang belum lagi genap berusia 4 bulan lalu dilempar dengan keras ke sungai di samping ruko.
Menurut pengakuan Ibu saya, ia melihat anjing tersebut masih hidup dan berhasil naik kembali, namun ia terlihat kurang yakin saat mengatakannya. Saya pikir itu khayalan yang menciptakan fatamorgana sehingga menciptakan visualisasi tertentu dari matanya. Mungkin Ibu saya mengalami fatamorgana karena saya tidak bisa menemukan Zorro di mana pun. Entah dia berhasil naik, atau mati terbawa arus sungai yang tenang namun dalam. Yang pasti Zorro tidak pernah kembali.
Kini hanya tersisa dua anak anjing beserta induk mereka, berlarian mengusir sedih kehilangan saudara mereka yang satu lagi. Bantet dan Bule. Bantet memang berbeda dari saudaranya karena dia adalah anak anjing yang dipungut karena induknya yang suka menggigit orang akhirnya dimasak di rumah makan lapo terdekat, dijual dengan harga tiga puluh lima ribu rupiah. Bantet menyusu dan diperlakukan sama seperti anak-anak asli oleh sang Ibu angkat.
Bantet yang masih saja gendut namun lincah, senang sekali tidur-tiduran setelah makan, namun sedikit takut entah kenapa jika ingin dipegang. Ia selalu menunggu saudara si bule berakrab dulu dengan orang tersebut lalu barulah ia mendekat. Ketika itu saya sampai Cibinong malam-malam. Bermain dengan Bantet dan Bule sebelum menemukan anjing itu gelisah karena dikejar-kejar orang-orang yang mabuk.
"Kenapa itu dia dikejar-kejar?" tanya saya kepada pemilik warung yang juga sayang pada anak-anak anjing ini.
"Tau tuh, iseng banget..." jawabnya dengan bersungut-sungut.
Hari itu adalah hari terakhir saya melihat Bantet. Karena ketika dua minggu ke depan saya kembali lagi, dia telah mati. Mati diracun. Begitulah Bantet mati tanpa ada tangis, hanya menjalani hidup dan mati, lalu hidup yang lain akan terus berjalan sebagaimana mestinya terus berjalan.
Hingga Bule berganti menjadi Bejo dan kini menjadi anjing remaja. Bulunya yang coklat dan putih makin kotor karena ia senang bergulingan di tanah. Kini teman Bule satu-satunya adalah si induk. Si Induk selalu aktif berlarian bersama anaknya yang tumbuh besar, kadang berebutan makanan, kadang bercanda dan saling menggigit. Si Induk adalah satu-satunya teman si bule saat ini setelah ia kehilangan dua saudaranya tanpa jeda.
Minggu lalu saya pulang lagi, untuk sebentar saja mampir tanpa menginap karena banyaknya janji yang harus dipenuhi. Saya cari itu anjing-anjing cibinong. Lalu sebuah kabar sedih datang lagi. Kali ini Induknya yang mati, masih sama, diracun. Lalu disanalah si Bejo, duduk sendiri sambil mencoba tidur siang.
Anjing memang tidak punya perasaan. Binatang memang tidak punya perasaan. Tapi mereka akan kesulitan beradaptasi ketika tiba-tiba kawanan mereka hilang dan sendirianlah ia. Seperti si Bejo satu ini. Bejo hanya butuh berlari-lari dan teman manusia untuk mengajaknya berinteraksi. Untunglah penjaga warung sayang pula kepadanya. Dicarilah kutunya yang gendut-gendut itu, bersama saya tentunya yang pasti di protes Ibu saya.
"Udah! Cuci Tangan!!"
Macam anak TK saja dia masih perlakukan saya ini. Namun ia lupa saya sudah sepenuhnya dewasa sehingga akan sangat sulit menaruh kontrol pada saya di umur ini. Juga ketika ia protes pada Tatoo yang saya buat di betis. Saya pikir ini hanya pakaian luar Bunda, tak perlukah kamu lihat dan pusing akan hal itu, cobalah lihat hati saya ini.
Bejo dan saya menikmati sepuluh menit berlarian bersama, saya tak peduli meski nampak seperti anak-anak di umur segini berkejaran dengan anjing. Saya menikmati udaranya, menikmati ikatan manusia-anjing antara kami, menikmati dan menghirup kebebasan kami. Saya dan kamu Bejo, bermain koran, kamu peluk saya dan menciptakan kotor di baju putih saya, tak apa, apalah artinya kotor itu jika kamu menikmatinya sangat. Bejo, semoga kamu baik-baik saja, sampai nanti saya kesana dan kita bermain lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H