Sebelumnya, saya ingin menyampaikan dukacita yang mendalam untuk sepak bola Indonesia. Semoga kita dapat memetik pelajaran dari peristiwa pahit tersebut.Â
***
Sepenggal yel-yel yang dinyanyikan suporter Arema berseliweran di beranda salah satu media sosial.Â
Tinggalkan ras, tinggalkan suku
Satu tekad dukung Arema
Di bawah bendera Singo Edan
Ayo maju, ayo maju Arema-ku
Jangan kembali pulang
Sebelum Arema menang
Walau harus mati di tengah lapang
Arema teruslah berjuang.
Kematian para supporter pendukung Arema seperti sebuah implementasi dari kalimat terakhir tersebut. Entah kebetulan, atau memang kalimat itu terangkat ke langit menjadi sebuah doa yang terkabul.Â
Tercatat, negara kita menduduki peringkat kedua dunia dalam catatan kematian di pertandingan sepak bola. Tahun 1964, pernah terjadi bencana dalam pertandingan sepak bola di Lima, Peru hingga menewaskan 328 orang.Â
Kemarin Sabtu, 1 Oktober 2022, Indonesia menorehkan sejarah kelam yang menewaskan 127 manusia dalam kerusuhan yang terjadi pada pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang. Bahkan, data terbaru menunjukkan angka kematian tembus hingga 187 jiwa. Innalillahi wa innailaihi raji'un.Â
Sungguh, jumlah yang fantastis. Semoga para korban ditempatkan di tempat yang terbaik di sisi-Nya. Keluarga yang ditinggalkan diberi keikhlasan dan kesabaran.Â
Sudah saatnya kita makin bijak dan dewasa menyikapi segalanya. Selalu ada hikmah yang bisa kita jadikan pelajaran dari setiap musibah.Â
Kegaduhan bermula dari sikap kurangnya legowo dalam menerima kekalahan. Menjadi PR untuk kita semua supaya makin menjunjung semangat sportivitas. Kalah menang dalam pertandingan itu biasa. Yang memalukan itu berhenti berjuang di tengah jalan.Â
Apalagi jika sudah terjadi kerusuhan, makin berlipat kita menerima malu. Kalau sudah begini? Siapa yang mau disalahkan? Tak ada. Saling menyalahkan pun tak ada gunanya. Lebih baik introspeksi diri kita masing-masing.Â
Sebagai seorang ibu, saya merasa tersentil secara pribadi. Sampai berpikir jauh, apakah mungkin anak-anak zaman sekarang, khususnya remaja, kurang memiliki sikap lapang dada dalam menerima kekalahan padahal telah digaungkan terus-menerus melalui pelajaran PPKN di sekolah? Apakah kita para orang tua di rumah sudah maksimal memberikan pemahaman kepada mereka supaya lebih mengedepankan adab, empati, rasa syukur, dan legowo.Â
Contoh sederhana, banyak anak saat menginginkan sesuatu, orang tua cenderung ingin langsung menuruti meskipun itu bukan hal yang urgent. Ada kalanya, perlu mengajarkan kepada anak-anak, tidak semua yang mereka inginkan bisa didapatkan dengan mudah. Didik mereka untuk bersabar dan disiplin saat ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sehingga, ada rasa menghargai terhadap kerja keras di situ.Â
Contoh lain, saat anak berseteru dengan anak lain, sebaiknya orang tua tidak perlu untuk langsung turut campur. Biarkan mereka menyelesaikan sendiri masalah yang tengah terjadi.Â
Bekali saja mereka dengan pemahaman pentingnya mengalah dan saling memaafkan. Kecuali jika sudah keterlaluan hingga melibatkan adu fisik, barulah kita perlu turun tangan untuk menengahi, bukan untuk mencari siapa yang salah.Â
Didik anak kita untuk belajar abai terhadap hal-hal negatif yang tidak penting. Misalnya, jika mereka menerima ejekan secara verbal, ajarkan untuk menahan diri agar tidak melakukan pembalasan. Namun, jika sudah melakukan kekerasan, baru boleh membela diri. Itu contoh simpelnya. Setidaknya, ada usaha anak untuk mengelola emosi secara bijak. Tidak mudah terpancing oleh hal-hal kecil.Â
Satu hal penting, ajari anak untuk tidak berlebihan dalam mencintai sesuatu. Fanatik berlebihan dapat mengganggu kehidupan seseorang. Tanamkan dalam diri anak untuk sewajarnya saja dalam merespons sesuatu yang mereka sukai. Suka boleh, tetapi dalam batas normal. Jangan sampai menjadi cinta buta.Â
Memang tidak mudah dan perlu usaha tanpa henti dalam mendidik anak. Akan tetapi, sebenarnya mudah saja asal anak mendapatkan teladan secara nyata. Tunjukkan, kita sebagai orang tua juga memiliki sikap sportif dan tidak mudah kecewa terhadap sesuatu. Tetap perlihatkan ekspresi penuh rasa syukur, tenang, dan tidak mudah mengumpat pada sesuatu yang tidak kita sukai. Jadi, orang tua belajar sabar, insyaallah anak-anak akan meniru.Â
Hal-hal besar yang terjadi di luar sana adalah bentuk manifestasi dari perilaku maupun karakter yang berasal dari keluarga di rumah. Pastikan hal besar itu adalah sesuatu yang bermanfaat dan positif, bukan sesuatu yang negatif, apalagi membahayakan nyawa manusia.Â
Sudah saatnya berbenah agar semua menjadi lebih berkah.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI