Mohon tunggu...
uswah hasanah
uswah hasanah Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Tertarik dengan dunia pendidikan dan parenting anak usia dini.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Takdir

15 Desember 2024   15:01 Diperbarui: 15 Desember 2024   15:01 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Tidak ada satupun manusia yang tidak pernah merasakan penolakan.

Saat lamaran pekerjaan ditolak karena tidak sesuai dengan kualifikasi, itu adalah hal  yang biasa. Jika kuliafikasinya tentang pengalaman, kamu bisa berusaha belajar atau mencari pengalaman hingga memiliki kompetensi sesuai kualifikasi yang dibutuhkan. Namun, apa yang bisa kamu lakukan saat kamu ditolak sebab hal yang kamu miliki sejak lahir, keluarga.

"Bapak bilang, pernikahan itu bukan hanya tentang dua orang. Tapi dua keluarga."

Saya memandangnya dengan mata kosong. Apa maksudnya?

"Bapak sering dengar dari Om, orang-orang di Madura itu suka kekerasan...jadi..." kalimatnya tidak dilanjutkan.

Tapi saya tau ke mana arah pembicaraan ini. Terakhir kali kami bertemu, ia bercerita bahwa Bapaknya-yang seorang dosen itu- sudah tahu perihal hubungan kami. Sama seperti teman-teman yang lain, pernikahan adalah hal yang wajar dilakukan setelah sarjana. Mungkin itu maksudnya, ia sudah memikirkan hubungan yang serius dan menyampaikan niatnya pada Bapaknya. Dan begitulah respon yang ia terima.

"Jadi... kita jalani saja, siapa tau Bapak berubah pikiran nanti. Yah, meskipun aku tidak tau kapan. Atau.... "

Dia berhenti berbicara saat melihatku menatap marah. Dia mungkin bisa membaca apa yang aku pikirkan...

Apa  yang salah dengan keluargaku? Apa salahnya aku lahir sebagai orang Madura? Kenapa saya ditolak karena hal-hal yang sudah melekat padaku sejak lahir? Beraninya Bapakmu!

"Tapi bukan hanya Omku. Informasi  dari media selama ini juga..."

Tidak. Ternyata dia tidak bisa membaca pikiranku. Jika bisa, beraninya dia memberikan alasan lain untuk membenarkan penolakan itu.

"Lalu bagaimana?" Dari sekian banyak pikiran, pada akhirnya pertanyaan itulah yang bisa aku ucapkan. Aku ingin tau bagaimana kamu akan bersikap pada penolakan yang sangat tidak adil ini.

"Sepertinya kita break dulu." Suaramu terdengar enteng.

"Baik."

***

Anita duduk di pinggir kasur. Kakinya menjuntai karena tempat tidur yang tinggi. Matanya melihat jendela., tapi pikirannya entah di mana.

"Karena keluargamu orang Madura..."

"Kekerasan..."

"Pernikahan itu antara dua keluarga..."

Kalimat-kalimat itu berputar di kepala Anita dan menghujam hatinya. Sesak di dadanya, tapi matanya yang beruraian air mata.

Beraninya mereka menggunakan tempat kelahiranku untuk menolak. Beraninya kalian mengkritik keluargaku, ayah dan ibuku.

***

Sudah seminggu berlalu. Dan selama seminggu itulah Anita mengalami rutinitas yang sama setiap pagi. Memeriksa notif pesan di HPnya, menunggu kabar, mengingat kata-kata penolakan, berusaha berdamai. Hanya  dia yang tau seberapa berantakan pikirannya.

"Kak Anita, hari ini kita mau main apa?" salah satu anak didiknya yang baru berusia tiga tahun menghampirinya. Mata jernihnya sanggup menarik Anita kembali ke kenyataan yang lain. Dia adalah guru TK yang harus selalu ceria menyambut murid-muridnya di sekolah.

"Hmmm. Hari ini kita akan belajar  tentang tanaman. Mas Biyan, sudah siap?" Anita duduk, mensejajarkan pandangannya dengan Biyan. Semoga dia tidak melihat apa-apa di mataku. 

"Wah! Ayo, kak. Mau. Biyan sudah siap!" Biyan berlari menuju teman-temannya di lapangan sambil berteriak, "Teman-teman. Kak Anita bilang hari ini kita mau belajar tentang tanaman!"

Anita menatap mereka dari kejauhan. Ia tersenyum, Apakah mereka akan menolakku karena aku orang Madura? Pikiran itu segera memanggil gerombolan air mata untuk bersiap melompat dari matanya.

***

Tut...tut...tut...

"...Hhm?

"Kayaknya... kita..."

"......"

"Kita udahan... ya..."

Ada jeda panjang. Mereka berdua terdiam, bukan karena tak ada lagi yang hendak disampaikan. Tapi kata-kata, ketakutan, kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan bercampur dan berlomba-lomba memporak-porandakan keduanya, Anita dan Ali.

".... Kapan kamu ke Kampus?" Anita sangat membenci ketidakjelasan. Ia ingin menghadapi semuanya, meskipun menyakitkan. Begitulah ia biasanya.

"...Lusa, mungkin. Kenapa?"

"Ada yang ingin aku sampaikan..."

"Apa? Bilang aja sekarang"

"Tidak. Lusa, sore. Kita ketemu di kampus"

***

Kedua kaki Anita gemetar, jantungnya berdebar. Trotoar di pinggir jalan kampus menuju Gedung Serbaguna kini seperti jalan terjal pegunungan, menanjak, membuat nafas tersengal.

Ini adalah yang terakhir! Ini adalah yang terakhir! Tidak ada lagi kata balikan. Tidak akan pernah ada lagi. Jadi mari berpisah dengan baik. Sampaikan hanya kalimat yang baik. Agar kita tidak menyesal.

Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun