Mohon tunggu...
Ustadzi Hamzah
Ustadzi Hamzah Mohon Tunggu... Freelancer - Penggiat studi agama, peminat isu sosial-keagamaan, golek dalan supaya ndalan

Tinggal di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Normal Baru, Bukan Baru Normal

27 Mei 2020   20:10 Diperbarui: 27 Mei 2020   20:06 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini ruang-ruang media kita disibukkan dengan suasana baru dengan munculnya istilah “Normal Baru” atau New Normal. Sejatinya istilah itu sudah lama muncul, cuma kita saja yang tidak ngeh. Baru setelah para petinggi negeri ini menyebutnya kita baru ngeh tentang istilah itu. Kita baru sadar, “Oo ada istilah itu to? Apa sih artinya, kok di mana-mana disebut istilah itu?”.

Kita tidak akan membincangkan arti istilah ini, karena telah banyak yang membicarakannya dan kita bisa mendapatkan penjelasan panjang lebar dari tulisan-tulisan itu, termasuk di forum Kompasiana ini. 

Intinya dalam istilah Normal Baru ini kita akan hidup dalam suasana baru dengan beberapa kekhususan yang berbeda dengan sebelumnya. “Suasana baru?”, Ya, suasana baru. Suasana yang sejatinya kita masih “terkurung” dalam wabah Covid-19 akan tetapi “harus” beraktivitas di luar rumah dengan aturan baru. Complicated juga aslinya, namun itulah suasana yang akan terjadi.

Ada kekhawatiran akan terbukanya “arena baru” penyebaran Covid-19 sehingga akan semakin memberatkan tim medis yang 24 jam stand by memerangi Covid-19. Sebaliknya, ada pertimbangan lain untuk menggerakkan roda ekonomi misalnya, sehingga perlu kembali hidup normal dengan aturan baru yang lebih spesifik. 

Pro dan kontra tetap ada. Banyak aspek yang terkait dengan suasana baru itu, namun, satu hal yang mungkin sedikit perlu kita cermati yakni konsep mentality ketika berada dalam suasana Normal Baru itu.

Mentality di sini tertulis italic karena ingin ditekankan pemaknaan terminologinya. Mentality adalah sebuah teori tentang kesadaran yang dicetuskan oleh Lucien Levy-Bruhl dalam bukunya La primitive mentalité (1923). Gagasan tentang mentality banyak dikembangkan oleh para ahli. 

Menurut teori ini, mentality merupakan kesadaran fundamental yang terpola oleh adanya interaksi sosial yang terus menerus terjadi. Artikulasi dari kesadaran itu muncul berupa sistem gagasan (ide, pengetahuan) yang pada akhirnya mempengaruhi pola tindakan (Bloch, 1989).

Dalam konteks kehidupan Normal Baru, mentality adalah suprastruktur kesadaran yang telah mengendap sekian lama. Kesadaran itu menjadikan keseharian kita nyaman dengan rutinitas yang ada. Siapkah kita menjalani suasana baru yang sebelumnya sudah nyaman?

Infrastruktur kehidupan kita seperti pasar, mall, stasiun kereta, bandara, toko-toko, tempat-tempat ibadah, kantor, dan lain-lain akan selalu siap dibuka kapan saja ketika Normal Baru itu berlaku. Meskipun, berlaku tatanan baru dalam mengakses fasilitas-fasilitas itu yang sebelumnya tidak ada. 

Yang akan mengisi fasilitas-fasilitas (infrastruktur) itu nantinya adalah kita, manusia, yang memiliki kesadaran tersendiri yang telah terbentuk melalui konsep mentality itu dalam waktu yang lama. Kesadaran awal kita telah terhabituasi sejak lama, bahkan seumur hidup kita.

Nah, kita masuk ke pembicaraan tentang habituasi (pembiasaan) dulu. Dalam Psikologi konsep ini menegaskan bahwa apa pun yang kita hadapi (stimulus) dalam kondisi yang normal akan kita respon secara pelan, bertahap, dan terus menerus sehingga terkadang kita lupa akan stimulus yang dihadapi itu. 

Kita menjadi “terbiasa” dan “nyaman” dengan situasi yang kita hadapi. Kenyamanan dan kebiasaan ini terus mengendap sebagai kesadaran bahwa itu lah kondisi kehidupan kita.

Saat ini terjadi wabah Covid-19, dan ke depan akan diberlakukan pola hidup baru yang mengubah kenyamanan dan kebiasaan kita. Siapkah kita? Untuk beberapa hal dan beberapa kelompok orang tentu akan siap, tetapi untuk yang lain apakah siap? 

Misalnya, siapkah kita tertib aturan baru ketika berada di pasar tradisional, di tempat wisata umum, tempat transportasi umum, dan tempat yang memungkinkan berkumpulnya banyak orang di sana?

Kita berharap semua tertib sesuai harapan dan aturan. Namun, kita perlu mengingat bahwa endapan kesadaran (mentality) kita sudah lama terbangun, tentu mengubah habituasi menjadi adaptasi akan terlalu sulit dilakukan jika tidak ada kesadaran baru tentang stimulus yang ada. 

Ironisnya, sebagian orang mengalami kegirangan baru dan begitu “euforia” ketika sebuah mall dibuka, stasiun dibuka, bandara dibuka lalu mengaksesnya seperti biasanya tanpa menghiraukan lagi aturan-aturan dalam kondisi wabah.

Perlu pendekatan holistik bagi kita dalam menyikapi Normal Baru ini, agar tidak muncul anggapan bahwa kelonggaran mengakses fasilitas-fasilitas umum sebagai sebuah kondisi yang Baru Normal. 

Artinya, kelonggaran-kelonggaran ini dianggap sebagai kondisi yang normal kembali setelah sebelumnya ditutup aksesnya sehingga berperilaku selayaknya yang biasa dilakukan. Ini persoalan mentality, namun kita berharap kesadaran ini betul-betul utuh ketika berada pada suasana Normal Baru, dan berusaha menghindari anggapan bahwa suasana ini sebagai keadaan yang Baru Normal sehingga terlalu “easy going” dengan apa yang terjadi dan merasa yang penting nyaman. Wallahu a’lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun