Sudah menjadi tradisi kita setelah melaksanakan sholat Idul Fitri bersilaturahmi dan saling berkunjung ke rumah sanak saudara. Tidak hanya sebatas berkunjung ke sanak saudara, dalam tradisi di kampung kunjungan dilakukan kepada keluarga besar kampung terutama yang lebih tua usianya atau orang yang dihormati. Tradisi ini lazim disebut dengan istilah ujung. Sementara itu, tradisi merayakan ujung secara komunal, bersama-sama, disebut syawalan atau halal bihalal.
Tradisi ini menjadi bagian inti dari lèbaran. Lèbar merupakan istilah dalam bahasa Jawa untuk menggambarkan suatu kondisi “setelah atau selesai” melaksanakan sesuatu.
Dalam penggunaan sehari-hari biasanya disingkat penyebutannya dengan istilah bar misalnya kata bar adus (setelah mandi), bar turu (setelah tidur), bar mangan (setelah makan). Untuk menyatakan “setelah berpuasa” digunakan istilah lèbar poso yang dirayakan sebagai “hari raya” Idul Fitri.
Nah, istilah lèbar poso akhirnya mengalami penyederhanaan penyebutan menjadi lèbar, dan suasana perayaan lèbar dilafalkan dengan istilah lèbaran. Akhirnya kata lèbaran menjadi istilah baku dalam Bahasa Indonesia yakni “Lebaran”.
Sebagaimana pelaksanaan ibadah Ramadhan dan sholat Idul Fitri yang dilakukan di rumah masing-masing, acara lebaran juga demikian.
Untung zaman ini kita terbantu dengan kemajuan teknologi. Kita bisa berlebaran melalui video calling lewat aplikasi-aplikasi di laptop atau smartphone yang bisa langsung terhubung ke banyak saudara di tempat yang berbeda-beda. Kita tidak bisa ke mana-mana karena seluruh akses di beberapa kampung ditutup total, namun kita bisa terhubung ke mana-mana.
Lebaran identik dengan kemeriahan, keramaian, dan suasana suka cita sambil berkumpul bersama sanak saudara, bercengkrama, dan ngobrol santai sambil menikmati kacang telur, tape ketan, madumongso, semar mesem, dan tentu makanan khas lebaran lain seperti rempeyek kacang.
Kali ini, suasana itu tidak ada. Seumur-umur suasana ini baru kita rasakan pada lebaran tahun ini. Kadang kita merasa sendiri dan sunyi berhadapan dengan suasana seperti ini. Namun, kita saling menguatkan dan saling mendoakan semoga suasana wabah ini segera berakhir.
Kita pun kadang berpikir apa yang kita lakukan dalam kesendirian dan kesunyian ini. Suntuk dan bosan menjadi keseharian kita. Namun, apa iya tidak ada sesuatu di balik suasana “kesendirian” ini?
Dalam buku yang berjudul Solitude: A Return to The Self (1989), Anthony Storr menjelaskan bahwa kesendirian merupakan pangkal spiritualitas dan kreativitas.
Dengan mengutip seorang sejarawan Inggris, Edward Gibbon, Anthony Storr memulai penjelasan buku ini dengan menuliskan kutipan “Conversation enriches the understanding, but solitude is the school of genius; and the uniformity of a work denotes the hand of a single artist.” (percakapan [pergaulan] memperkaya pemahaman, namun kesendirian merupakan kejeniusan; dan sejumlah karya [besar] merupakan karya dari seorang sendirian).
Ungkapan Gibbon dan Storr ada benarnya, karena dengan melihat sejarah zaman, banyak sebuah karya besar dimulai dari kejeniusan dalam suasana “kesendirian” seseorang. Sebutlah misalnya Republic-nya Plato atau Rhetoric-nya Aristoteles merupakan karya dari suasana “kesendirian” mereka.
Demikian juga karya-karya besar lainnya, seperti lukisan Monalisa-nya Leonardo da Vinci. Sufi-sufi besar seperti Ibn ‘Arabi, Abu Yazid, Rabi’ah ‘Adawiyah, dan al-Ghazali menghasilkan karya magnum opus-nya dalam suasana kesendirian. Dari “sendiri” kita bisa banyak “memberi”. Yang kita berikan bukan materi, tetapi kebaikan, karya besar, dan kepedulian. Inilah “spiritualitas dan kreativitas” seperti diungkapkan oleh Storr di atas.
Nah, berlebaran dalam suasana “kesendirian”, kita memang tidak bisa ujung –berkunjung ke sanak saudara, namun kita bisa membangun spiritualitas kita dengan cara menghayati perjalanan waktu ini sebagai sebuah episode yang di situ kita dituntut untuk melakukan “sesuatu”.
Kita memang berada pada situasi social loneliness, dan kita tidak menyerah pada situasi ini. Situasi ini adalah kekuatan. Ini adalah bagian dari kebaikan-kebaikan yang harus kita tempuh.
Dalam “kesendirian” ini, kita memiliki banyak waktu untuk menciptakan kebaikan-kebaikan lain di atas kebaikan ini, baik kepada anak-anak kita untuk selalu mendampingi mereka, keluarga kita yang selalu hanya mendapatkan sisa waktu kita, atau orang tua kita yang jarang kita telpon karena kesibukan kita, atau tetangga sebelah yang jarang kita sapa.
Kita bisa saling mendukung dan mendoakan antar teman, antar saudara, antar kolega, dan lain sebagainya. Jangan anggap hal-hal ini bukan sebuah “karya besar”. Ini adalah “karya besar” kita. Inilah barakah yang selama ini kita pahami. Dukungan dan doa kita kepada semuanya akan membangun kedekatan dan keakraban (intimacy), dan ini juga kebaikan.
Pada saat kita memiliki kebaikan-kebaikan ini semua, kebaikan-kebaikan itu akan terus dirasakan secara mendalam oleh kita dan orang-orang di sekitar kita melampaui ada batas waktu dan tempat. Kebaikan itu tidak pernah berujung, abadi selama kebaikan itu memberi kebaikan yang lebih luas. Ujung kita tahun ini tidak berujung. Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H