Abdi bersenandung nyanyian Bubuy Bulan sepanjang langkahnya. Anak ini memang tidak kenal takut, teman sepantarannya telah duduk manis di dalam rumah saat maghrib datang tapi tidak dengan Abdi, dia justru bernyanyi ria dan berjalan pelan untuk pulang.
"Bubuy bulan, bubuy bulan sangray bentang."Â
Sejenak ia berhenti melangkah memperhatikan bangunan sederhana peninggalan kolonial Belanda di depannya. Bangunan tersebut adalah sebuah rumah dulunya namun diganti fungsi menjadi panti asuhan setempat. Beberapa warga menitipkan anaknya di sana karena alasan bekerja ke luar kota hingga sebagai tki di negeri orang atau memang ditelantarkan.
"Mila kamanya nya?" Tanya Abdi seorang diri.
Mila alias Jameela, dia merupakan teman dekat Abdi dari mereka balita. Sejak balita Abdi selalu diajak main oleh neneknya ke panti itu dan yang paling sering  dengan Jameela.Â
Jameela sendiri memiliki darah campuran Arab, dan sang ibu yakni Efa, yang kerja di Arab. Saat pulang Efa telah mengandung tiga bulan dan setelah melahirkan Jameela, sang Ibu menitipkan anaknya ke panti asuhan dan tidak ada kabar apapun. Bahkan rumah Efa di kampung telah terbengkalai tak terurus hingga bagian dalamnya sebagian telah roboh.Â
"Abdi! Kamu ini bagaimana? Pulang! Sudah maghrib masih keluyuran."
"Maaf, Pak. Saya pulang."
Abdi harus melewati panti itu untuk pulang ke rumahnya. Ia sangat penasaran dimana teman perempuannya itu? Apakah telah ada keluarga angkat yang membawanya pergi? Abdi sudah tidak melihat Jameela sejak dua hari yang lalu. Seketika raut wajahnya menjadi murung.
Langit semakin menggelap hingga tengah malam. Bumi berputar membawa hari baru seperti biasanya. Abdi harus berangkat sekolah hari ini. Pintar sekali dia memanfaatkan kondisi. Abdi akan tampil rapi dan wangi saat di hari-hari penting namun jika telah terlewat ia akan kembali ke wujud awut-awutannya.
Aneh, memang aneh.