Wirya melanjutkan obrolannya bersama Mulyadi. Pembicaraannya ngalor-ngidul. Dengan begitu beban batin menjadi lebih ringan. Mulyadi sudah memahami karakter sahabatnya itu. Setiap kali Wirya datang ke rumahnya tak lain hanya untuk keperluan curhat. Soal utang yang belum juga dibayarnya, Mulyadi tak lagi mempersoalkannya.
Bulan terus berganti. Kondisi rumahnya bertambah muram. Terlalu tipis kemungkinan Sumarti akan kembali, kecuali jika dia dicampakkan oleh pasangan yang digilainya. Wirya gamang, mengurus perceraiannya atau membiarkannya sampai Sumarti menemui karmanya. Jauh di lubuk hatinya, rasa kasihan terhadap ibu dari anak-anaknya tak dapat diabaikannya. Sedikit harapan Sumarti kembali ke rumah masih tersisa di hatinya. Jika sedang tak ada urusan pekerjaan Wirya selalu menemani si bungsu, menuruti ke manapun dia ingin pergi. Jika terpaksa dia harus pergi, si bungsu dititipkan di rumah adiknya.
Saat ibunya datang membawa jajanan untuk si bungsu seketika Wirya menangis memeluk ibunya. "Maafkan aku ibu. Aku banyak mengecewakan ibu."
Ditepuk-tepuknya bahu Wirya. "Sabarlah Nak. Barangkali ini sudah takdir hidupmu."
"Aku harus bagaimana Bu?"
"Mintalah ampunan dan perlindungan kepada Allah."
"Apa salahku Bu, begini amat nasibku?"
"Kamu sudah cukup dewasa untuk menghadapi segala persoalan hidupmu. Kesalahanmu hanya kamu dan Allah yang tahu, selain yang kasat mata diketahui orang lain. Tidak perlu aku menyebutkan, khawatir salah. Barangkali ada yang turut menjadi musabab sehingga istrimu tak mau kembali ke rumah. Renungkanlah. Andai saja jodohmu sampai di situ, itulah takdirnya yang tidak bisa ditolak. Namun apa pun keputusanmu sekarang, diceraikan atau tidak, aku akan menghargai jika kau menganggap ikhtiarmu sudah maksimal. Istrimu itu, ibarat layangan putus talinya akibat kencangnya angin dan kerapuhan talinya, lalu tersangkut di kawat listrik yang kau tak mampu menjangkaunya. Tapi jangan putus asa, ini pasti ada hikmahnya."
"Ya. Terlalu banyak kesalahanku. Doakan aku bu."
"Tanpa kau minta, doa ibu tak pernah putus untuk anak yang mana pun."
Dalam beberapa hari Wirya tak pergi ke luar rumah. Ponselnya dimatikan. Kandatipun ada tamu dia tak lagi membicarakan perihal sepak terjang istrinya. Malam-malam tak dibiarkannya berlalu begitu saja. Dia lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan salat, muhasabah dan berdoa memohon ditunjukkan jalan terbaik atas masalah yang tengah dihadapinya.