Seseorang, mungkin tokoh masyarakat setempat, menutupkan  kain poleng ke wajahnya. "Sudah tidak ada," katanya memberitahu.
Seketika tangisan putri bungsunya pecah disertai tangisan beberapa orang lainnya.
"Sudah, ikhlaskan. Kita doakan saja semoga diampuni dosa-dosanya. Saudara-saudara mari kita siapkan segala sesuatunya."
Mengetahui ada yang hendak mengaji aku pun menjauh. Seseorang muncul dari dalam rumah membawa panci dan meletakkannya di atas bangku, ditutupnya dengan kain serbet. Beberapa orang yang hadir sejak tadi memasukkan uang. Aku pun mengikuti, kupikir takut terlupa.
Kabar kematian Paman Sarbani segera disiarkan melalui pelantang suara di masjid yang jaraknya sekira dua ratus meter dari tempat kejadian perkara. Menyusul satu-satu pelayat berdatangan.
Masya Allah. Kurenungi kematian Paman Sarbani yang begitu melelahkan batin orang-orang di sekitarnya, termasuk aku yang hanya menyaksikan kurang dari satu jam. Ingatanku tentang segala kebaikan Paman Sarbani membuatku bertambah iba. Rasanya belum ada balasan kebaikanku terhadapnya kecuali aku selalu salim jika kebetulan bertemu dia. Dalam hati aku berdoa, semoga dosa-dosanya diampuni.[]