Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takziah

14 Januari 2021   22:51 Diperbarui: 13 September 2023   05:46 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Suasana duka sangat terasa ketika kami tiba di halaman rumahnya. Teras rumahnya telah dipasangi tenda. Sejumlah kursi berjajar, sebagiannya diduduki tamu dan anggota keluarga.

Bibi Asmanah menyambut hangat kadatanga kami. Wajahnya mengisyaratkan kecemasan. Anak bungsunya meraung-raung. Anak-anaknya yang lain terisak-isak menahan tangis, ada yang sesekali menjelaskan kronologis kondisi sang ayah kepada tamu yang bertanya.

Aku mencari-cari wadah yang biasa digunakan untuk menampung sedekah. Tak tampak panci bertutup kain sebagai tempat menampung sedekah seperti umumnya musibah kematian. Kubiarkan amplop tetap terselip di saku baju.

Suara mengaji dari beberapa orang terkesan bersahutan, seolah sedang memburu suatu keputusan sang penentu hidup dan mati. Begitu aku masuk ke ruang tengah, ternyata Paman Sarbani masih bisa bernapas. Dia terbaring di kasur, tidak sadarkan diri. Kepalanya di atas bantal. Matanya mengarah ke atas, tak berkedip. Mulutnya menganga. Napasnya tersengal. Payah sekali. Bunyinya keras. Perutnya kembang kempis dan bergetar ekstrem. Aku ngeri melihatnya. Kasihan dia tersiksa sekali.

"Sejak kapan?" Aku berbisik mencari tahu.

"Dari tadi malam, setelah magrib-lah," jawab menantunya yang sering ketemu di pasar berjualan ayam.

"Masyaallah!" Aku merasa ngeri.

Setelah lebih dari seperempat jam, seseorang menyudahi doanya. Dengan isyarat aku minta ijin untuk mengaji, membaca Surat Yassin di samping kanan Paman Sarbani. Aku fokus kepada bacaan. Dengus napas Paman Sarbani terkadang meninggi, bahkan seperti sapi sedang digorok, nyaris membuyarkan konsentrasiku.

Seperti pembaca yang lain, setelah membaca Surat Yassin aku pun berdoa pelan. Pikirku, semoga tak ada yang mendengar. "Ya Allah, hamba tak kuasa melihatnya, ampunilah dosa-dosanya. Akhirilah penderitaannya. Angkatlah penyakitnya. Sembuhkanlah jika Engkau masih menghendaki dia hidup, atau segerakanlah kematiannya jika itu yang terbaik menurut-Mu. Ya Allah, kabulkanlah." Sungguh aku tak tega melihatnya. Rasanya napasku ikut sesak.

Isak tangis anak-anaknya belum berhenti. Detik demi detik terus berlalu, gerakan kembang-kempis perutnya melemah, bergeser ke dada, lama-kelaman berhenti. Lehernya bergetar. Ya, napasnya tinggal di tenggorokan. Itu berlangsung hampir sepuluh menit. Selanjutnya getaran pun tersisa di belakang kuping kanan agak bawah. Tak berlangsung lama. Hilanglah. Aku fokuskan pandangan untuk memastikan bahwa tak ada lagi getaran di situ, juga tak ada getaran ataupun gerakan di bagian manapun.  Tak ada lagi tarikan napas sedikitpun. Mulutnya menganga. Matanya terbuka. Aku membatin. Aku diam, tak berani mengatakan apa-apa. Keadaan itu disaksikan beberapa pasang mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun