Sastra lisan, kini nyaris tenggelam bersama perjalanan arus zaman. Bagaimana tidak? Untuk saat ini, anak-anak lebih dominan menonton TV ketimbang mendengarkan sastra lisan seperti dongeng yang merupakan karya sastra peninggalan leluhur masa lampau. Karya sastra seperti itu, kalau dicermati secara saksama, banyak nilai yang terkandung di dalamnya. Nah, apakah karya leluhur kita itu, dibuang saja? "Jawabannya, tentu tidak! Dibutuhkan upaya untuk menggalinya sekaligus didokumentasikan," demikian Bu Maini Trisna Jayawati menegaskan.
Hal ini dimaksud untuk mempertahankan isi serta unsur yang terkandung dalam sastra lisan itu. Misalnya terkait norma, berfungsi sebagai pedoman dan standar nilai serta pengawasan dalam bertindak (bagi warga masyarakat pendukungnya). Sedangkan norma itu sendiri bersifat universal, bersifat spesifik dan norma yang bersifat alternative. Norma itu sendiri merupakan wujud konkret dari nilai-nilai.
[caption id="attachment_342537" align="aligncenter" width="592" caption="Ket.gambar: Peneliti Bahasa dari Jakarta bersama penulis (foto : Usman D.Ganggang)"][/caption]
Selanjutnya terkait nilai, penting diperhatikan, karena merupakan konsepsi abstrak tentang apa yang baik dan apa yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang boleh, mana pula yang dilarang. Nilai merupakan standar normative perilaku. "Iya, nilai merupakan ukuran pokok untuk mengatur perilaku, pola piker,serta pola bertindak bagi masyarakat pendukung sastra lisan tersebut", tambah Bu Erli Yetti.
Bagaimanapun juga cerita rakyat (dongeng misalnya), kata Mas Nur Akid Prasetyawan,merupakan cerminan tradisi daerah yang merupakan warisan lelurur itu, harus dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Warisan itu, sangat berharga buat masyarakat sekitarnya. "Karena di sana tersimpan sejumlah nilai", demikian simpulan empat peneliti dari Jakarta dalam dialog perjalanan menuju objek penelitian di Labuanbajo, Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), kemarin.
Selanjutnya, DR.Mu'jizah yang bersama 3 orang temannya itu, (Bu Maini Trisna Jayawati; Bu Erli Yetti; dan Mas Nur Akid Prasetyawan) dari Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari Jakarta, mengakui bahwa nilai-nilai yang dimaksud tadi, merupakan kekayaan yang harus didokumentasikan sehingga generasi mendatang dapat mempelajarinya sekaligus mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang disebutkan itu, adalah nilai moral, sosial, ekonomi, relegi, dan lain-lain. "Kesemuanya, bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak"",tambah Bu Maini yang didukung oleh Bu Yetti dan Mas Nur Akid.
[caption id="attachment_342538" align="aligncenter" width="567" caption="Ket.Gambar: Para penari "Caci" (pecut-memecut) : foto usman d.ganggang"]
Karena itu, kami meminta warga masyarakat di sini, demikian Bu Mu'jizah, cerita rakyat di daerah ini, harus digali sekaligus dibukukan. Sebab kalau tidak, bakal tenggelam bersama arus zaman. Dan tentu, kita bakal malu kalau kemdian kita pelajari cerita rakyat wilayah harus dipelajari di Eropa.
Begitupun karya seni lainnya seperti tarian yang ada di daerah. Misalnya di Wilayahnya Bupati Gusti Dulla (Kab.Manggarai Barat-Prov.NTT) terdapat tarian caci, tarian yang pelaksanaannya saling memecut. Salah satu uji ketangkasan dalam menangkis pecut-memecut, adalah berupa tarian "Caci". Bagi orang Manggarai, permainan caci ini amat digemari hingga sekarang.Tarian caci (pecut-memecut) ini, biasanya dilaksanakan setelah panen dan sekarang untuk menyambut tamu.
[caption id="attachment_342541" align="aligncenter" width="563" caption="Ket.Gambar: Sedang pecut-memecut (caci). foto usman d.ganggang"]
Pada dasarnya,tarian ini ditampilkan bertujuan untuk : (1) menyatakan bahwa ada hiyang (= Sang Pencipta alam semesta alam); (2) Naring (= memuji/memuja atas kemuliaan-NYA, yang telah memberikan rahmat karunia kepada hamba-NYA; dan (3) menyatakan bengkes (=menyatakan senang karena memperoleh rezeki), karena itu pernyataan bengkes itu, diwujudkan dalam tarian caci.
Dalam mempertunjukkan tarian caci ini,kata seorang tokoh adat yang ditemui, selalu diikuti dengan hadirkan bunyi-bunyian gendang dan gong. Kesemuanya, bertujuan memotivasi pemecut dalam memecut, sehingga pemecut sambil melompat untuk memecut tetap memperhatikan seni pecutnya.
"Apa yang diuraikan di atas, benar adanya. ketika kami bersama para peneliti berkunjung ke Melo Kecamatan Mbeliling Kab.Manggarai-Prov.NTT", sambung Aco salah seorang guide, warganya menyambut kami dengan acara adat.Selanjutnya, kami dipersilakan untuk menonton tarian caci yang mempesona ini. Bagaimana tidak? Tarian merupakan cerminan budaya setempat yang menyumbangkan sekian banyak nilai seperti terurai di atas.
[caption id="attachment_342542" align="aligncenter" width="552" caption="Ket.Gambar: Sunset di depan pantai Labuanbajo"surga kecilnya NTT; foto usman d.ganggang"]
Nilai-nilai itu, demikian simpulan para peneliti, sangat bermanfaat, karena itu, dibutuhkan adanya upaya tindakan penyelamatan dalam artian perlu digali, dikembangkan dan dihidupkan kembali melalui upaya pembinaan dan revitalisasi yang pembinaannya seperti berikut: disosialisasikan, baik oleh pemerintah maupun oleh orangtua. Boleh juga melalui program-program khusus seperti membuka perpustakaan untuk menampung buku-buku karya para penulis terkait sastra lisan atau terkait kebudayaan pada umumnya.***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H