Dinamika Politik Uang di Setiap Pesta Demokrasi
Pengertian Politik Uang
Politik uang selalu menjadi topik bahasan yang hangat bagi berbagai kalangan dalam setiap momen diskusi oleh tokoh pengamat politik, akademisi, aktifis pegiat pemilu, aktifis pegiat anti korupsi, di berbagai acara yang diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara pemilu, di berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi baik itu ormas atau lembaga swadaya masyarakat, bahkan sampai dengan obrolan masyarakat di warung kopi atau angkringan, terutama pada saat seputaran waktu berlangsungnya penyelenggaraan pemilu atau pilkada.
Namun demikian pada sebagian besar masyarakat umum masih belum banyak difahami secara lengkap apa sesungguhnya politik uang (money politics) itu? apa saja jenisnya? dan sejauhmana dampaknya?. Tulisan ini akan mencoba menguraikan disertai referensi dari berbagai sumber sehingga dapat memberikan gambaran singkat namun cukup jelas untuk menjawab beberapa pertanyaan berkaitan dengan politik uang tersebut.
Mengutip pendapat Bumke (2014), bahwa selama ini memang tidak ada definisi baku tentang politik uang. Istilah politik uang digunakan untuk menyatakan korupsi politik, klientelisme hingga pembelian suara.
Menurut Ismawan (1999). Politik uang adalah upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan ini bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum suatu negara.
Menurut Juliansyah (2007). Politik uang adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).
Menurut Aspinall & Sukmajati (2015), politik uang merupakan upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap.
Undang-Undang
Dalam undang-undang pemilu maupun undang-undang pilkada tidak dijelaskan secara khusus tentang apa pengertian politik uang, namun diatur dalam pasal yang memuat norma ketentuan larangan dan sanksi yang berkaitan dengan peristiwa politik uang tersebut, yang mana politik uang merupakan suatu tindak pidana.
Dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (undang-undang pemilu), pada Pasal 515 menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta “.
Selanjutnya dalam Pasal 523 menyatakan Ayat (1) “Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dlm pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah)”. Ayat (2) “Setiap pelaksana, peserta dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah)”.
Ayat (3) “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Dalam Pemilihan Umum ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang dibedakan menjadi 4 kategori peristiwa politik uang berdasarkan waktu kejadian yaitu peristiwa politik uang yang terjadi pada saat pemungutan suara berlangsung, pada saat kampanye, pada masa tenang dan pada hari pemungutan suara. Lamanya ancaman sanksi pidana penjara dan denda yaitu berkisar antara paling lama 2 tahun dan denda 24 juta sampai dengan paling lama 4 tahun dan denda 48 juta. Sedangkan pihak yang dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pihak pemberi.
Dalam undang-undang nomor 6 tahun 2020 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 2 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang (undang-undang pilkada) pada Pasal 73 menyatakan, Ayat (1) “Calon dan/ atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/ atau pemilih”.
Ayat (2) “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Prov atau KPU Kab/Kota”. Ayat (3) “Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ayat (4) “Selain calon atau pasangan calon, Anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan , atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk : a. mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih. b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu”.
Dan ketentuan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 187 A menyatakan Ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000. (satu milyar rupiah)”. Ayat (2) “Pidana yang sama diterapkan kepada Pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Dalam Pilkada ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang diatur dengan lebih berat, dengan adanya ketentuan minimal pidana (bukan paling lama) yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar. Sedangkan pihak yang dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pemberi dan penerima.
Jenis-jenis Politik Uang
Menurut Aspinall & Sukmajati (2015), jenis-jenis politik uang dalam pemilihan umum yang terjadi di indonesia meliputi :
1. Pembelian suara (vote buying).Yaitu distribusi pembayaran uang tunai/ barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi.
2. Pemberian-pemberian pribadi (individual gifts). Untuk mendukung upaya pembelian suara yang lebih sistematis, para kandidat seringkali memberikan berbagai bentuk pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya mereka melakukan praktik ini ketika bertemu dengan pemilih, baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada saat kampanye. Pemberian seperti ini seringkali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosial (social lubricant), misalnya, anggapan bahwa barang pemberian sebagai kenang-kenangan.
3. Pelayanan dan aktivitas (services and activities). Seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya, kandidat seringkali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas tertentu. Di forum ini biasanya para kandidat mempromosikan dirinya. Contoh lain adalah penyelenggaraan pertandingan olahraga, turnamen catur atau domino, forum pengajian, demo memasak, menyanyi bersama, pesta-pesta yang diselenggarakan oleh komunitas dan masih banyak lagi. Tidak sedikit kandidat yang juga membiayai beragam pelayanan untuk masyarakat, misalnya check-up dan pelayanan kesehatan gratis.
4. Barang-barang kelompok (club goods). Pemberian untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan individu, yaitu donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang tinggal di lingkungan perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain.
5. Pork barrel projects. Proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu. Kegiatan ini ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu. Banyak kandidat menjanjikan akan memberikan program-program dan proyek-proyek yang didanai dengan dana publik untuk konstituen mereka yang biasanya berupa proyek-proyek infrastruktur berskala kecil atau keuntungan untuk kelompok komunitas tertentu, terutama untuk aktivitas-aktivitas yang bisa menghasilkan pendapatan.
Dampak Politik Uang
Politik uang yang sudah lama tumbuh subur dalam sistem sosial kemasyarakatan kita ini ibarat sebuah penyakit menahun yang mencederai sistem demokrasi. Politik uang sangat menghambat dalam membangun sebuah proses demokrasi yang sehat karena dampaknya yang sangat merusak. Beberapa dampak buruk politik uang bagi demokrasi adalah :
1. Merendahkan martabat rakyat.
Para calon atau partai politik yang melakukan praktik politik uang secara tidak langsung tetapi nyata telah mejadikan rakyat hanya semata-mata sebagai pihak yang suaranya dapat dibeli, kondisi ini tentu saja merendahkan martabat rakyat yang mana disini rakyat menjadi tidak lebih hanya sebagai obyek politik.
2. Menimbulkan ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat secara politik. Dengan adanya rakyat yang suaranya sudah dibeli dalam politik uang tersebut maka akan mempengaruhi kedaulatan rakyat untuk memberikan pilihan suaranya secara bebas karena sudah diikat dengan jual beli suara sehingga secara substansi rakyat bukan lagi pemegang kedaulatan penuh sebagai penentu siapa pemimpin yang akan terpilih.
3. Mengubah kekuasaan politik menjadi masalah private/individu, bukan lagi masalah publik yang harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel. Dengan adanya praktik jual beli suara maka akan memungkinkan timbulnya kecenderungan perubahan sikap dan tanggung jawab moril seorang pemimpin yang terpilih, yang mana seorang pemimpin yang seharusnya memikirkan kesejahteraan rakyat yang merupakan tanggung jawab politik kepada publik akan bergeser menjadi sebatas persoalan individu yang memungkinkan terjadi pengabaian akibat adanya pemikiran bahwa dia telah membeli suara dari masing-masing individu rakyat.
4. Menghilangkan sikap kritis masyarakat terhadap kekuasaan. Masyarakat secara individu yang mana suaranya telah dibeli melalui proses praktik politik uang dalam pemilihan karena telah merasa menerima uang atau barang dari peserta pemilihan dalam proses pemilihan sehingga kelak akan merasa sungkan dan enggan untuk mengkritisi pemimpin yang sedang berkuasa terhadap berbagai kebijakan yang diterapkan.
5. Manipulasi hubungan sosial dari hubungan yang mengandalkan trust (kepercayaan) menjadi hubungan yang transaksional. Dengan adanya politik uang akan terjadi pergeseran nilai atau pola hubungan yang semestinya dalam memilih pemimpin atas dasar kepercayaan atau atas pertimbangan bahwa pemimpin yang dipilih adalah orang yang benar dipercaya mampu mensejahterakan rakyat berubah menjadi sekedar memilih karena faktor lain yaitu karena imbalan berupa uang atau barang dan jasa yang memberikan keuntungan sesaat.
6. Menimbulkan potensi terjadinya perilaku korupsi. Dengan adanya praktik politik uang maka biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para kandidat calon pemimpin pada saat pemilihan akan membengkak sangat tinggi, hal tersebut tentunya menjadikan beban politik yang berat bagi kandidat yang mengikuti kontestasi pemilihan, sehingga pada saat terpilih dan duduk di kursi kekuasaan akan terbebani oleh persoalan individu berkaitan dengan modal politik ini yaitu persoalan bagaimana modal yang sudah dikeluarkan dapat kembali secepatnya jauh sebelum akhir periode masa jabatannya. Ada dua potensi yang dapat timbul sebagai konsekwensi dari kondisi tersebut yaitu timbulnya kecenderungan adanya potensi perilaku korupsi yang dapat menggerogoti anggaran negara dan potensi terabaikannya nasib rakyat karena pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan lebih banyak disibukkan dengan persoalan individunya, kedua hal tersebut tentunya merupakan kerugian yang akan diderita oleh rakyat.
Tulisan oleh: Usman, M. Pd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H