Aku tiba di kantor sekitar pukul dua siang, seperti biasa, setelah menyelesaikan beberapa artikel dan mempublikasikannya. Hari itu tak ada yang terlalu istimewa, hanya rutinitas biasa. Aku duduk menonton beberapa video kegiatan bos di komputerku sambil menunggu waktu salat asar. Namun, suasana berubah ketika office boy masuk tergesa-gesa, mengabarkan ada dua perempuan di luar yang ingin bertemu.
"Siapa yang cari?" tanyaku sambil melirik layar komputer.
"Kurang tahu, Mas. Katanya penting," jawabnya dengan nada ragu.
Aku menghela napas panjang, lalu beranjak ke teras depan kantor. Di sana, dua perempuan---yang lebih pantas disebut ibu-ibu---duduk dengan raut wajah cemas. Salah satu dari mereka tampak lebih tua, mungkin mendekati usia lima puluh, dengan kerudung kusam dan tangan yang terus meremas ujung kain.
"Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" sapaku ramah.
Yang lebih tua, sebut saja Ibu Mira, menjawab dengan suara bergetar, "Mas, kami datang untuk minta tolong. Suami saya... dia butuh keadilan."
Aku mempersilakan mereka masuk ke ruangan sederhana tempat biasa kami menerima tamu. Setelah memperkenalkan diri, Ibu Mira mulai bercerita panjang lebar. Suaminya, Wawan, seorang buruh pabrik, baru saja divonis bersalah atas tuduhan pencurian uang perusahaan sebesar dua miliar rupiah. Namun, dari penuturannya, ada begitu banyak kejanggalan dalam kasus itu.
"Suami saya bukan pencuri, Mas," katanya, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. "Kami ini orang kecil. Bahkan makan sehari-hari saja susah. Dari mana bisa mencuri sebanyak itu?"
Ibu Mira melanjutkan ceritanya. Wawan ditangkap tiba-tiba di tempat kerja tanpa bukti jelas, lalu diinterogasi tanpa pendampingan hukum. Berita acara pemeriksaannya pun penuh dengan kesalahan. Tapi, seperti nasib orang-orang kecil lainnya, mereka tak punya uang atau kuasa untuk melawan.
"Waktu sidang, pengacara bilang kalau mau menang, kami harus bayar 25 juta, Mas. Darimana saya cari uang segitu? Rumah kami saja sudah enam bulan nunggak cicilan."
Aku hanya bisa terdiam. Kata-kata seperti tersangkut di tenggorokan. Di satu sisi, aku ingin membantu, tapi aku tahu kapasitas dan batasanku.
"Kenapa datang ke kantor kami, Bu?" tanyaku pelan, mencoba mengerti.
"Saya lihat di TikTok, Mas. Katanya di sini bisa bantu pengaduan orang kecil."
Mendengar itu, aku merasa ironis. Media sosial memang kerap menjadi tempat terakhir orang mencari harapan.
Walaupun bukan bagian dari tugasku, aku mendengarkan dengan saksama. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti beban yang ia letakkan di hadapanku, berharap aku bisa mengangkatnya. Namun, aku hanya bisa menjanjikan akan menyampaikan pengaduannya kepada pimpinan.
"Apa yang bisa kami lakukan, Bu?" tanyaku akhirnya.
"Entahlah, Mas. Saya cuma ibu rumah tangga. Saya cuma ingin suami saya mendapat keadilan. Kalau dia salah, tunjukkan buktinya. Jangan begini..."
Ibu Mira akhirnya menangis, menundukkan kepala ke tangannya. Aku duduk diam, merasa kecil di hadapan masalah yang begitu besar.
Saat pertemuan hampir selesai, ia menambahkan satu cerita yang membuatku semakin tertekan. "Pinjol, Mas... untuk bayar pengacara, saya terpaksa pinjam. Sekarang bunganya makin tinggi. Kalau Wawan dihukum 1,6 tahun, kami bisa kehilangan semuanya. Rumah, anak-anak..."
Aku terdiam lama setelah mereka pergi. Di dalam hati, aku bertanya-tanya, bagaimana jika aku berada di posisinya? Bagaimana jika keluargaku menghadapi ketidakadilan seperti ini?
Malam itu, aku pulang dengan pikiran kacau. Aku teringat wajah Ibu Mira dan suaranya yang penuh harapan meski ia tahu harapan itu bisa jadi sia-sia.
Di kamar, aku menatap plafon kosong sambil berbisik dalam hati.
"Tuhan, kalau memang takdir tak bisa diubah, setidaknya berikanlah mereka kekuatan untuk bertahan."
Hidup ini penuh ketidakadilan, tapi entah kenapa, kisah Wawan dan Ibu Mira terasa seperti pukulan keras ke dalam batinku.
Nb : Ini Cerita Fiktif Saja, Mohon maaf jika ada nama yang sama
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI