Aku hanya bisa terdiam. Kata-kata seperti tersangkut di tenggorokan. Di satu sisi, aku ingin membantu, tapi aku tahu kapasitas dan batasanku.
"Kenapa datang ke kantor kami, Bu?" tanyaku pelan, mencoba mengerti.
"Saya lihat di TikTok, Mas. Katanya di sini bisa bantu pengaduan orang kecil."
Mendengar itu, aku merasa ironis. Media sosial memang kerap menjadi tempat terakhir orang mencari harapan.
Walaupun bukan bagian dari tugasku, aku mendengarkan dengan saksama. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti beban yang ia letakkan di hadapanku, berharap aku bisa mengangkatnya. Namun, aku hanya bisa menjanjikan akan menyampaikan pengaduannya kepada pimpinan.
"Apa yang bisa kami lakukan, Bu?" tanyaku akhirnya.
"Entahlah, Mas. Saya cuma ibu rumah tangga. Saya cuma ingin suami saya mendapat keadilan. Kalau dia salah, tunjukkan buktinya. Jangan begini..."
Ibu Mira akhirnya menangis, menundukkan kepala ke tangannya. Aku duduk diam, merasa kecil di hadapan masalah yang begitu besar.
Saat pertemuan hampir selesai, ia menambahkan satu cerita yang membuatku semakin tertekan. "Pinjol, Mas... untuk bayar pengacara, saya terpaksa pinjam. Sekarang bunganya makin tinggi. Kalau Wawan dihukum 1,6 tahun, kami bisa kehilangan semuanya. Rumah, anak-anak..."
Aku terdiam lama setelah mereka pergi. Di dalam hati, aku bertanya-tanya, bagaimana jika aku berada di posisinya? Bagaimana jika keluargaku menghadapi ketidakadilan seperti ini?
Malam itu, aku pulang dengan pikiran kacau. Aku teringat wajah Ibu Mira dan suaranya yang penuh harapan meski ia tahu harapan itu bisa jadi sia-sia.