Di sisi lain, Puteri juga hidup dalam kesendirian dan kepahitan. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu takut untuk menerima cinta yang tulus dari Pangeran. Meski masih menginginkannya, Puteri memilih untuk menutup pintu hatinya dan menjalani hidup seadanya. Ia tidak ingin kembali pada kenangan-kenangan yang mungkin hanya akan melukainya lebih dalam.
Suatu hari, di sebuah jalan kecil yang sunyi, Pangeran dan Puteri bertemu tanpa disengaja. Wajah mereka terkejut, namun dalam tatapan mereka, ada cerita yang seakan kembali terungkap. Pangeran mendekat, tanpa kata-kata, memegang tangan Puteri yang dingin dan gemetar.
"Puteri," ucapnya pelan, "jika kau masih memberi kesempatan, izinkan aku ada di sisimu."
Puteri menunduk, sejenak hening, dan dalam hatinya muncul perasaan yang lama tak dirasakannya. Dengan suara bergetar, ia menjawab, "Aku tak tahu apakah aku layak untuk menerima cinta seperti milikmu."
Namun, Pangeran tersenyum, seakan tidak memedulikan semua masa lalu dan luka yang mereka simpan. "Cinta adalah pemberian, bukan penghukuman. Aku di sini bukan untuk menghakimimu, Puteri, melainkan untuk mencintaimu apa adanya."
Akhirnya, Puteri membuka hatinya, merelakan dirinya untuk mencintai dan dicintai tanpa rasa takut. Mereka tidak langsung menikah, tetapi kali ini, Puteri tahu bahwa cinta yang tulus tidak meminta imbalan atau kesempurnaan. Perlahan, dengan cinta dan kesabaran, mereka berdua membangun kehidupan baru---sebuah kehidupan yang bebas dari belenggu masa lalu dan penuh harapan untuk masa depan.
Dengan begitu, di negeri antabrata yang penuh keajaiban, kisah cinta antara Pangeran dan Puteri menjadi bukti bahwa cinta sejati tidak pernah menghakimi, tetapi selalu siap untuk memaafkan dan menerima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H