Aku menatap langit yang mulai menggelap dari balik jendela kecil di kamarku. Hawa malam yang sejuk berembus perlahan masuk, seakan memberikan kedamaian pada hati yang berkecamuk. Di bawah sana, suara tawa dan teriakan riuh mengisi udara, suara yang sangat akrab namun kini terdengar asing di telingaku. Teman-temanku, dulu mereka yang kusebut sahabat, sedang berkumpul di warung kopi dekat rumah. Mereka bermain kartu, berjudi, dan mungkin sudah mulai memesan alkohol, seperti biasa.
Aku, di sisi lain, duduk di kamarku, sendiri. Tak diundang. Tak dianggap lagi. Sejak aku memutuskan untuk tidak ikut lagi dalam permainan mereka, perlahan-lahan aku merasa dijauhkan, diasingkan. Mungkin ini salahku karena terlalu mendambakan hal yang berbeda dari mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar kesenangan sementara. Atau mungkin salahku karena tidak bisa memaksa diriku untuk menikmati hal-hal yang mereka nikmati.
"Roni, kamu berubah," kata Budi beberapa minggu yang lalu, ketika aku memutuskan untuk tidak ikut bermain judi lagi. Saat itu aku hanya tersenyum tipis, tak ingin memperkeruh suasana. "Kita ini teman, kan? Loyal itu artinya ikut dalam suka dan duka."
Aku diam. Bagaimana aku bisa menjelaskan pada Budi bahwa bagi diriku, loyalitas tidak berarti harus mengikuti semua hal, terutama jika itu merusak? Aku setia pada persahabatan kami, bukan pada kebiasaan buruk yang perlahan-lahan menghancurkan hidup mereka.
Setiap malam mereka akan menghabiskan uang yang tak sedikit untuk taruhan kecil-kecilan. Awalnya, hanya untuk hiburan. "Cuma seru-seruan aja," kata mereka. Tapi lama-lama jumlah uang yang dipertaruhkan semakin besar, dan wajah-wajah yang dulu ceria mulai menampakkan kegelisahan. Beberapa kali aku melihat Budi, Raka, dan teman-teman lain pulang dengan muka lesu, kalah besar, namun tetap kembali ke meja taruhan pada malam berikutnya. Mereka menganggapku lemah karena tidak ikut terjun dalam permainan itu.
Aku tahu, perlahan-lahan aku kehilangan tempat di tengah-tengah mereka. Setiap kali aku menolak, ada ejekan yang dilemparkan. "Roni, kamu pengecut." "Takut kalah, ya?" "Ah, dia sok alim."
Kemudian alkohol mulai masuk dalam pergaulan kami. Awalnya hanya botol kecil yang dibeli sebagai pelengkap permainan kartu. Tapi seperti judi, kebiasaan itu juga tumbuh dan menjadi kebutuhan. Setiap malam ada lebih banyak botol yang tergeletak kosong di meja warung. Suatu kali, saat aku menolak minum, Andi menatapku tajam. "Kamu gak mau minum karena gak setia sama kita. Teman yang baik itu gak pilih-pilih."
Aku masih ingat bagaimana kata-kata Andi membuat hatiku tersentak. Benarkah aku tidak setia? Tapi di sisi lain, aku juga tak bisa memaksa diriku untuk melanggar prinsipku. Minuman keras, berjudi---itu bukan hal yang aku yakini benar.
Lama-lama, jarak itu semakin lebar. Mereka berhenti mengajakku keluar, bahkan untuk sekadar ngobrol di kafe seperti dulu. Aku sering mendengar tentang acara-acara yang mereka buat dari orang lain. Sesuatu yang awalnya kukira hanya fase, kini menjadi rutinitas; sebuah pola yang menggambarkan perpecahan yang makin nyata. Satu persatu teman-temanku mulai menjauh, dan aku pun memilih untuk menjaga jarak, lebih baik diam daripada memaksakan diri dalam lingkungan yang tidak lagi selaras denganku.
Suara pintu diketuk dari luar. "Roni, kamu di dalam?" Suara Budi memanggilku.
Aku bangkit, membuka pintu dengan sedikit keraguan. "Ya, Bud. Ada apa?"