Sarwiti terpaksa mengurungkan niatnya mengikuti acara peringatan maulid nabi di majelis taklim tempat dia biasa menghadiri pengajian. Pakaian seragam yang belum lunas urung dia keluarkan dari lemari.Â
Namun sedikit kue basah yang dibelinya di pasar berhasil dia selundupkan hingga sampai ke seksi konsumsi tanpa sepengetahuan Jumadil, suaminya. Kebebasannya kian dibatasi oleh Jumadil.Â
Di dalam rumah Sarwiti hanya bisa mendengar suara rekan-rekannya bersalawatan melalui toa musala.Â
Menyusul tausiah yang disampaikan oleh seorang ustadzah yang sedang naik daun di kalangan kaum ibu.Â
Terlintas dalam pikirannya untuk nekat tapi dia tidak siap mendapatkan caci maki dan pukulan dari Jumadil kendati saat itu Jumadil tak ada di rumah.Â
Dia masih ingat ucapan Jumadil bahwa istri harus patuh kepada suami. Terlebih dia hanya menumpang di rumah itu. Rumah yang mereka tinggali dibangun atas biaya dari orang tua Jumadil.Â
Itu yang kerap disebut Jumadil ketika bertengkar mulut yang dipicu oleh pembantahan terhadap paham baru yang diikuti Jumadil.
Perubahan sikap keagamaan Jumadil berimbas besar terhadap Sarwiti dan anaknya. Banyak aturan baru yang diterapkan Jumadil.Â
Panggilan bapak terhadap dirinya diubah menjadi abi dan panggilan ibu diubah menjadi umi. Tak mudah bagi Sarwiti dan anaknya mengubah panggilan itu, sehingga hanya di depan Jumadil mengucapkannya.Â
Kebiasaan Sarwiti menonton sinetron terhenti karena pesawat TV-nya dipindahkan ke gudang. Pokoknya apapun tayangannya tidak boleh ditonton. Karena sangat inginnya menonton sinetron Indosiar, Sarwiti menumpang nonton di rumah tetangganya.Â