"Kelebihan 7 kilo" kata petugas di kounter Maskapai Korean Air ketika saya menyimpan koper-koper saya di tempat kiloan mereka "Harus bayar 100 dolar" tambahnya.
"Hah? 100 dolar?" saya menganga "Nggak bisa kurang?" tawar saya.
"Nggak bisa" jawabnya.
"Masa lebih segitu aja, bayarnya 100 dolar? Kurangi dong" pinta saya.
Suami menarik saya kebelakang dan bilang, katanya udah kita beli tas kecil aja, terus masukin barang-barang kelebihannya itu kedalam tas kecil dan saya tenteng aja. Ih, bawa-bawa 7 kilo kan berat, lagian saya udah bawa Car Seat, bawa si Kecil, tas gendong, tas selempang, udah kebanyakan tentengan saya. Saya jadi bakal kayak tukang panggul kemaruk di bandara bawa bawa-barang segitu banyaknya. Mana badan saya kecil pula. Ntar ketumpuk badan saya sama tentengan.
Tapi suami maksa, katanya malu masa saya nawar-nawar begitu. Kata saya ya biasa nawarmah, masa nggak boleh. Dikasih syukur, nggak dikasih ya minimal sudah usaha. Tapi dia tetap menolak dan keukeuh beliin saya tas kecil dan memang pada akhirnya saya nyerah sama pilihan dia.
Kali lain ada teman yang dagang online dan dia bikin status marah-marah di Facebooknya, dia bikin status soal pelanggannya yang menawar barang-barang dia. Pelanggannya ini orang Indonesia yang baru di Amerika. Asalnya saya nggak ngerti, kok pelanggan nawar dibikinin status sih?
Setelah lama disini ternyata saya baru tahu kalau budaya menawar barang dagangan itu tidak lazim disini. Tidak untuk barang dagangan yang nilainya kecil seperti toko online grocery teman saya itu atau menawar harga denda dari maskapai yang terjadi sama saya diatas.
Budaya tawar-menawar antar pedagang dan pembeli sampai berbusa-busa dan kerongkongan kering itu tidak populer terjadi disini. Di kampung padahal hal itu lumrah banget, pembelinya harus ngeloyor pergi dulu, baru pedagangnya ngasih harga diskon sambil teriak-teriak "Mbak, mbak, sok ya jadi 10 rebu", turun harganya menjadi 10 rebu dari harga semula yaitu 11 ribu. Hahahha.... worthed nggak sih mengeringkan tenggorokan demi uang Seribu rupiah?. Pokoknya tiada hari berbelanja tanpa menawar.
foto: rajawow.com
Tapi dasar budaya udah mendarah daging ya, saya kalau belanja dan kalau tukang dagangnya orang Asia sih saya tetap pakai jurus menawar dan memang lumayan ada yang mau nurunin. Mereka mungkin faham budaya mereka sendiri apalagi lihat wajah saya, wajah hopeless, gak ada wajah dolar ber-nol banyak difikirnya. Daripada barangnya nganggur, dikasih aja deh sedikit diskon.
Budaya menawar ternyata adanya di transaksi yang besar-besar seperti kalau beli mobil, komputer, furniture, dan sebagainya. Untuk minta harga spesial di departemen store, bisa menghubungi manajernya langsung, kata suami. Aaahhh rumit amat kata saya. Iya kan katanya yang tahu barang itu masih berlaba atau tidak setelah didiskon itu ya manajernya. Ogah banget kalau begitu, malu nyari-nyari manajer cuma mau diskon seupil. Lupain aja.
Walaupun budaya menawar tidak populer tapi ada strategi lain yang diterapkan perusahaan untuk mengurangi harga jual produk mereka yaitu menerbitkan kupon, program sale, ngeluarin sticker berbunyi "manager special" atau "manager's choice" dan sejenisnya. Ada juga program mengeluarkan Kartu Keanggotaan yang berfungsi memberikan harga-harga diskon bagi anggotanya plus poin khusus setiap kali kita berbelanja. Ada juga program mengeluarkan kartu kredit khusus sebuah produk atau departemen store begitu. Demi poin, saya menjadi korban rayuan salah satu kartu kredit sebuah departemen store disini. Wkwkwkwkk... iya, padahal saya nggak suka kredit tapi hidup di Amerika kok susah banget menghindari kartu kredit ya? Saking populernya, itu pas nawarinnya serasa diunjuk-unjuk ke hidung begitu. Jadi kalo nggak diambil tuh serasa lubang hidung kita bakal keselek sama kartu kredit yang ditawarin itu.
Trik lain untuk mendapatkan harga diskon adalah menunjuk kekurangan/cacat barang yang kita beli. Misal waktu saya beli cangkang hape, saya lihat ada sedikit goresan, jadi yang tadinya berharga 20 dolar, mereka kasih 15 dolar. Lumayan. Padahal goresannya sedikit sih, nggak akan mempengaruhi fungsi hape yang dikantonginya.
Atau bisa juga melihat tanggal kadaluarsa barang yang mau kita beli terutama makanan, biasanya toko-toko akan merelakan produk mereka dijual dengan harga hampir gratis daripada dibuang. Lebih baik dijual dengan harga terjjungkir daripada masuk tong sampah. Ih padahal dulu waktu di kampung, saya jarang lihat tanggal kadaluarsa produk. Blasss aja masuk perut dan alhamdulillah masih hidup ternyata. Lagian barang dagangan di kampung saya jarang yang bertanda kadaluarsa begitu. Seperti Cireng, Baso, Kerupuk kulit, dan kawan-kawannya, itu dijual di pasar tradisional tanpa ditempeli sticker kadaluarsa.
Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dengan tambahan info dari beberapa situs diantaranya:
wisebread.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI