Mohon tunggu...
🍀 Usi Saba 🍀
🍀 Usi Saba 🍀 Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

🎀 Menolak Tenar 🎀

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mantan yang Menggetarkan

29 Desember 2015   09:05 Diperbarui: 29 Desember 2015   09:43 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terpukau melihat wajahnya. Dia tiba-tiba datang dari negeri seberang. Wajahnya harusnya menua, tapi dia masih seperti dulu. Entah kenapa dia datang kesini. Katanya untuk urusan bisnis. Bisnis apa ya? Kok bisa sampai di kampungku yang sunyi?. Oh, bisnis tengkorak. Tengkorak zaman purba. Dia bersama teman-teman Arkeolognya mendapatkan kabar kalau ada situs tengkorak di tempat kami. Hmmmh, benarkah?. Aku tidak tahu. Tapi dia benar-benar fokus sama bisnis tengkoraknya itu.

Dia hanya bilang "HI" kepadaku terus sibuk sama teman-temannya meneliti bongkahan tengkorak-tengkorak yang digali tukang kuburan di belakang kampung kami. Aku tidak mengerti soal tengkorak-tengkorak itu. Malah bagiku tengkorak itu menakutkan. Tapi tidak bagi mereka. Mereka lalu sibuk membawa tengkorak-tengkorak itu ke balai desa untuk sementara. Kaca-kaca pembesar di tangannya dengan jas putih di tubuh 170 cm nya terlihat keren. Terlihat elegan, menjadikan dia tambah kelihatan berotak banyak, pintar maksudku.

Aku bergerombol dengan orang-orang kampung ke Balai Desa melihat apa yang mereka lakukan; menjajar-jajar tengkorak-tengkorak itu. Desas-desus bilang sih itu tengkorak-tengkorak tentara penjajah dulu yang dikubur di halaman belakang kampung kami. Konon, mereka diracun penduduk desa. Dia dan kawanannya ingin mengambil sampel racun itu kini, setelah beberapa puluh tahun. Emang bisa?. Tidak tahu.  Yang lainnya mengatakan, mereka datang dari seberang hanya untuk mengambil sampel DNA para pemilik tengkorak-tengkorak itu karena kini keluarganya ingin mengetahui kepastian identitas mereka untuk kepentingan pelabelan Pahlawan di negaranya. Hah? Emang gak terlambat. Entahlah.

Setelah berhari-hari, kini tugas mereka selesai. Hatiku berdegup keras. Alah, apa-apaan ini?. Aku ini sudah beristri, dia juga sudah bersuami, dia sudah beranak dengan suami yang mapan.  Ketika aku berada diantara gerombolan orang kampung didepan Balai Desa, dia menghampiriku.

"Maaf ya, aku tidak sempat menyapamu. Sibuk sekali. So, apa kabarnya?" dia meraih tanganku. Hatiku tambah berdegup, tak mengira tangannya akan meraih tanganku begitu cepat. Dia memasangkan jemari-jemarinya dengan jari-jemariku dan mengayun-ayun simpulan jari-jari itu sambil berjalan. Aku seperti anak PAUD, diam dan hanya mengikuti langkahnya.

"Kemana suamimu?" tanyaku langsung saja.

"Dia disini, di Indonesia. Tepatnya di Jakarta" jawabnya melirikku.

"Hah? Di Indonesia? Ngapain? Bukannya kalian tinggal di Belanda?" aku merasa heran.

"Ya, tapi anakku itu tidak bisa makan tahu di Belanda. Dia sukanya makanan Indonesia, jadi terpaksa dia tinggal disini" terangnya.

Aku mengkerutkan kening "Lho bukannya di Belanda juga banyak restoran Indonesia? Bahkan orang Indonesianya juga? Yang bisa bikin tahu juga pasti bejibun"

"Iya, sih tapi untuk mendapatkan rasa khasnya itu ya tetap harus dinikmati disini"

Aku tidak mengerti. Ini pertama kalinya dalam hidup, aku mendengar seseorang memutuskan tinggal diluar negeri karena anaknya menyukai tahu di negeri itu. Sampai harus menetap disana. Aneh sekali. Rela terpisah dengan ibunya, demi tahu.

"Jadi kamu dan suamimu pisah begitu?. Kamu di Belanda dan dia sama anakmu disini?" aku menghentikan langkahku.

Dia mengangguk. Aku tersenyum simpul jahat; dalam benakku aku senang mereka berpisah begitu. Aku tersenyum kecut pada akhirnya karena bagaimana pun mereka tetap suami istri. Tak mungkin aku mengambilnya. Aku juga bukan pria tunggal aka single lagi. Aku punya istri dan anak. Tapi... rasa ini masih ada. Tak hilang sampai kini bahkan setelah hampir satu dekade.  Aku kembali menatapnya penuh arti. Dia balik menatapku dan tertawa.

"Hey, kenapa menatapku begitu?" dia tertawa renyah "Kenapa?" gigi-gigi putihnya tampak indah dengan kacamata yang membingkai dua bola matanya itu. Dia meraih pundakku dan merangkulku tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab. Kami kembali berjalan seperti dua orang sahabat.  Hatiku gembira membuncah walau hanya berjalan begini dengannya sampai tiba-tiba istriku membangunkanku.

Kubuka mataku. Ah, rupanya hanya mimpi. Pantas saja jalan ceritanya aneh. Aku bangun dan siap-siap mandi untuk berangkat kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun