Mohon tunggu...
Sultan Usmani
Sultan Usmani Mohon Tunggu... Dosen - Dosen sekaligus Pengagamat Hukum

pengamat hukum dan dosen salah satu universitas di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Komentar Grondkaart Jika Tidak Mengetahui Metodologi Sejarah

19 Maret 2018   07:45 Diperbarui: 19 Maret 2018   09:11 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grondkaart adalah produk hukum bagian dari sistem hukum (auction.catawiki.com)

Beberapa waktu saya membaca berita tentang FGD (Focus Group Discussion) yang selengarakan oleh Badan Akuntabilitas Publik DPD RI di ruang rapat BAP DPD RI Senayan, namun dalam FGD tersebut banyak sekali kesalahan dan ketidak relevansi masalah yang dibahas dengan cara pembahasannya. Mirisnya lagi sekelas Guru Besar Hukum Agraria masih tidak paham apa yang dibahas. Ya, guru besar tersebut bernama Prof. DR. Ny. Arie S. Hutagalung SH, MLI yang mengatakan bahwa grondkaart hanya semacam surat ukur itu adalah pernyataan yang membuat saya malu akan kualitas Profesor di indonesia yang menyampaikan pendapat tanpa mengetahui keilmuan yang sebenarnya.

Narasumber lainnya yang turut hadir dalam FGD tersebut adalah Dr. Kurnia Warman, SH, M. Hum dan Yuli Indrawati, SH, LL.M yang sama-sama tidak memahami keilmuan hukum dan sejarah namun berani mengungkapkan pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta yang ada.

gambar diolah dari radarlampung.co.id
gambar diolah dari radarlampung.co.id
Dari ketiga pakar hukum yang di undang oleh DPD RI tersebut menyamakan grondkaart dengan peta tanpa mendalami isi unsur-unsur yang terkandung di dalam grondkaart tersebut. Kesalahan dari pakar hukum tidak menyebutkan analisis dan metodologi apa yang digunakan untuk menilai grondkaart. Sebelum mereka menyampaikan pendapat yang terbilang ngasal, seharusnya sekelas pakar hukum sekaligus dosen harus mampu membedakan terlebih dahulu antara sistem hukum dan produk hukum.

Perbedaan dari keduanya adalah jika sistem hukum berubah maka sistem tersebut tidak akan digunakan lagi sedangkan produk hukum sendiri berbeda karena produk hukum itu akan tetap dipakai walaupun sistem hukumnya sendiri telah berubah. Sebagai contohnya adalah akta kelahiran kakek kita. Misalkan kakek kita tercatat dalam akta kelahiran Tahun 1925 itu tetap akan berfungsi meskipun sistem catatan sipil Belanda sudah tidak ada. Nggak mungkin kan akta kakek kita ikut dihapuskan dan tahun lahir kakek kita tercatat pada Tahun 1945 pada saat Indonesia merdeka, Begitu juga dengan grondkaart.

sumber: Twitter.com/Keretaapikita
sumber: Twitter.com/Keretaapikita
Grondkaart itu tidak salah, namun yang salah adalah caranya menginterpretasikan. Grondkaart adalah produk hukum yang menjadi bagian sistem hukum pada saat itu, dan walaupun sistem hukumnya sudah tidak berganti namun produk hukum tersebut tetap berlaku. Sementara interpretasi yang salah dari ketiga pakar hukum tersebut adalah menginterpretasikan produk hukum yang bukan zamannya, karena para pakar hukum yang belum menguasai materi tersebut menggunakan metodologi interpretasi yang tidak sezaman dengan produknya sehingga semuanya menjadi bias.

Grondkaart merupakan produk hukum masa lalu bukan produk masa kini jadi seharusnya kita harus mengkaji dengan menggunakan metodologi masa lalu (sejarah). Dalam menggunakan metodologi sejarah kita akan melakukan analisis dengan 4 tahapan yakni :

1. Penelusuran Data

2. Kritik Data

3. Interpretasi Data

4. Rekontruksi Dari Hasil Interpretasi Data

Dari keempat tahapan tersebut akan menghasilkan laporan akhir yang nanti akan ditulis berdasarkan hasil analisis interpretasi data. Sedangkan pada interpretasi datanya sendiri dihasilkan berdasarkan dari langkah kedua yakni kritik data. Untuk kritik data sendiri telah dibedakan menjadi dua yakni ekstern, dan intern. Kritik ekstern itu terdiri dari orisinalitas, otentisitas, integritas, dan juga kredibilitas. Sementara untuk kritik intern sendiri terdiri atas konten, konteks, dan struktur.

Dari situ kita sudah bisa melihat kecocokannya karena jika kita kaji orisinalitas grondkaart sendiri tidak diragukan, begitu juga dengan otentisitas grondkaart sudah tidak diragukan lagi. Sedangkan untuk integritas dan kredibilitas dari grondkaart sendiri sudah jelas karena telah dilengkapi dengan arsip dan data yang menerangkan kepemilikan tanah dan peralihan hak dari pemilik sebelumnya.

Untuk internnya sendiri konten dari grondkaart sudah jelas karena menunjukan peta dan batas-batas kepemilikan tanah, sedangkan pada konteksnya ketiga orang yang diundang oleh DPD RI dan mengaku ahli hukum tersebut menggunakan kontek saat ini sedangkan grondkaart adalah produk masa lalu. Mereka selalu menafsirkan grondkaart dengan UUPA, ini sama saja kita menyamakan pemikiran zaman dulu dengan zaman now pemikiran simbah-simbah kita dulu tentunya berbeda dengan pola pikir cucu kita pada saat ini. Sebagai contohnya kita menyalahkan simbah kita nginang kenapa tidak langsung makan havermut saja seperti anak zaman now saat ini.

Dari situ jelas kita melihat pendapat orang-orang hukum yang keblinger karena tidak paham namun memaksakan untuk menganalisis grondkaart dengan kontek saat ini. Dari situ dalam ilmu sejarah sering disebut dengan anakronisme, sedangkan anakronisme sendiri adalah menginterpretasikan masa lalu dengan kacamata masa kini (sekarang), dan ini adalah kesalahan yang sangat fatal atau kesalahan seperti ini sering disebut dengan kesalahan sejarawan (historian's fallacy), dan pandangan semacam adalah salah apalagi sampai dipakai oleh pakar hukum itu adalah kesalahan yang fatal.

Sedangkan untuk interpretasinya ketiga orang hukum tersebut melakukannya dengan buru-buru tanpa mendalami keilmuannya, karena yang pertama apakah ketiga orang yang mengaku pakar hukum tersebut mengetahui tentang isi dari grondkaart sendiri, dan apa saja hal-hal yang tercantum dalam grondkaart tersebut, sudah bisa dipastikan ketiga pakar hukum tersebut salah tidak mengetahuinya, sebab yang diketahui adalah grondkaart sama dengan peta dan itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Dalam interpertasi ketiga pakar hukum tersebut tidak mengetahui apalagi sampai membaca isi semuanya.

Kesalahan kedua dari orang hukum yang diundang oleh DPD RI adalah mereka tidak mempelajari kelengkapan apa saja yang ada dalam grondkaart. Kesalahan ketiga adalah tidak menepatkan struktur permasalahan pada kontek yang sebenarnya. Bukti dari kesalahan ketiga orang hukum tersebut adalah menyebutkan tentang eigendom, opstal maupun erfpacht. Dalam sejarah tidak pernah ada yang menyebutkan hal tersebut adalah tanah negara dari sini menunjukan kualitas yang diragukan dari seorang ahli hukum.

Tidak ada dalam sejarah government ground itu disebut eigendom dan celakanya keduanya ini adalah bagian dari sistem hukum kolonial namun mereka membedahnya dengan mengunakan pandangan kaca mata masa kini (Zaman NOW). Buktinya dia membedahnya dengan menyamakan produk hukum tersebut dengan pandangan masa kini. Dari situ sama saja  membuat pernyataan bahwa kakek-kakek kita dulu bodoh karena sunat menggunakan plat bambu atau pisau kenapa tidak pakai laser seperti pada saat ini, dari situ menunjukan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat anak-anak yang masih begok, begitupun juga dengan pendapat ketiga orang yang diundang oleh DPD RI yang mengaku pakar hukum.

Semoga dengan kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua dosen yang ada di Indonesia agar tidak menyatakan pendapat yang ngasal tanpa mengetahui dan mendalami keilmuan dan sejarahnya. Semoga kualitas mahasiswa menjadi maju dengan majunya dosen yang berkualitas dan pakar hukum yang benar-benar paham tanpa harus membenarkan orang salah. EKS

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun