Dari situ kita sudah bisa melihat kecocokannya karena jika kita kaji orisinalitas grondkaart sendiri tidak diragukan, begitu juga dengan otentisitas grondkaart sudah tidak diragukan lagi. Sedangkan untuk integritas dan kredibilitas dari grondkaart sendiri sudah jelas karena telah dilengkapi dengan arsip dan data yang menerangkan kepemilikan tanah dan peralihan hak dari pemilik sebelumnya.
Untuk internnya sendiri konten dari grondkaart sudah jelas karena menunjukan peta dan batas-batas kepemilikan tanah, sedangkan pada konteksnya ketiga orang yang diundang oleh DPD RI dan mengaku ahli hukum tersebut menggunakan kontek saat ini sedangkan grondkaart adalah produk masa lalu. Mereka selalu menafsirkan grondkaart dengan UUPA, ini sama saja kita menyamakan pemikiran zaman dulu dengan zaman now pemikiran simbah-simbah kita dulu tentunya berbeda dengan pola pikir cucu kita pada saat ini. Sebagai contohnya kita menyalahkan simbah kita nginang kenapa tidak langsung makan havermut saja seperti anak zaman now saat ini.
Dari situ jelas kita melihat pendapat orang-orang hukum yang keblinger karena tidak paham namun memaksakan untuk menganalisis grondkaart dengan kontek saat ini. Dari situ dalam ilmu sejarah sering disebut dengan anakronisme, sedangkan anakronisme sendiri adalah menginterpretasikan masa lalu dengan kacamata masa kini (sekarang), dan ini adalah kesalahan yang sangat fatal atau kesalahan seperti ini sering disebut dengan kesalahan sejarawan (historian's fallacy), dan pandangan semacam adalah salah apalagi sampai dipakai oleh pakar hukum itu adalah kesalahan yang fatal.
Sedangkan untuk interpretasinya ketiga orang hukum tersebut melakukannya dengan buru-buru tanpa mendalami keilmuannya, karena yang pertama apakah ketiga orang yang mengaku pakar hukum tersebut mengetahui tentang isi dari grondkaart sendiri, dan apa saja hal-hal yang tercantum dalam grondkaart tersebut, sudah bisa dipastikan ketiga pakar hukum tersebut salah tidak mengetahuinya, sebab yang diketahui adalah grondkaart sama dengan peta dan itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Dalam interpertasi ketiga pakar hukum tersebut tidak mengetahui apalagi sampai membaca isi semuanya.
Kesalahan kedua dari orang hukum yang diundang oleh DPD RI adalah mereka tidak mempelajari kelengkapan apa saja yang ada dalam grondkaart. Kesalahan ketiga adalah tidak menepatkan struktur permasalahan pada kontek yang sebenarnya. Bukti dari kesalahan ketiga orang hukum tersebut adalah menyebutkan tentang eigendom, opstal maupun erfpacht. Dalam sejarah tidak pernah ada yang menyebutkan hal tersebut adalah tanah negara dari sini menunjukan kualitas yang diragukan dari seorang ahli hukum.
Tidak ada dalam sejarah government ground itu disebut eigendom dan celakanya keduanya ini adalah bagian dari sistem hukum kolonial namun mereka membedahnya dengan mengunakan pandangan kaca mata masa kini (Zaman NOW). Buktinya dia membedahnya dengan menyamakan produk hukum tersebut dengan pandangan masa kini. Dari situ sama saja  membuat pernyataan bahwa kakek-kakek kita dulu bodoh karena sunat menggunakan plat bambu atau pisau kenapa tidak pakai laser seperti pada saat ini, dari situ menunjukan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat anak-anak yang masih begok, begitupun juga dengan pendapat ketiga orang yang diundang oleh DPD RI yang mengaku pakar hukum.
Semoga dengan kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua dosen yang ada di Indonesia agar tidak menyatakan pendapat yang ngasal tanpa mengetahui dan mendalami keilmuan dan sejarahnya. Semoga kualitas mahasiswa menjadi maju dengan majunya dosen yang berkualitas dan pakar hukum yang benar-benar paham tanpa harus membenarkan orang salah. EKS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H