Tahun 2022 silam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di kediaman Bupati nonaktif Langkat, penggeledahan yang mulanya dilakukan atas tudingan keterlibatan kasus korupsi beralih menjadi kasus pelanggaran HAM setelah ditemukan tempat seperti penjara berisikan puluhan orang dengan kondisi memprihatinkan. Awalnya mantan Bupati Langkat tersebut berdalih bahwa tempat tersebut dipergunakan sebagai tempat rehabilitasi narkoba, namun hal tersebut langsung dibantah oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mengatakan bahwa tempat tersebut bukan tempat rehabilitasi narkoba. Mantan Bupati Langkat tersebut kemudian dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 11 UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Setelah ditelisik lebih lanjut orang-orang yang dipenjarakan di penjara ilegal tersebut dipekerjakan sebagai buruh di pabrik sawit milik mantan Bupati Langkat tanpa bayaran sepeser pun. Ditemukan pula adanya praktik kekerasan dan temuan berupa 18 alat penyiksaan yang digunakan untuk menyiksa penghuni krangkeng tersebut.
   Dengan adanya kasus ini tentu saja menjadi bukti bahwa masih ada saja tindak perbudakan di masa kini, terlebih kasus ini dilakukan oleh seorang Bupati yang diberikan mandat berkuasa untuk mengatur suatu daerah yang mana kasus ini sudah bisa digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat. HAM sendiri berarti hak dasar yang dimiliki oleh setiap individu sejak lahir, tanpa diskriminasi. Hak atas kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Kasus krangkeng ini merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 28G dan 28I UUD 1945 yang menjamin perlindungan atas rasa aman dan kebebasan dari penyiksaan. Tidak adanya proses hukum juga melanggar asas due process of law yang diatur dalam KUHAP.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kasus semacam ini:
1.Penyalahgunaan Kekuasaan
   Penyalahgunaan kekuasaan terjadi ketika pejabat publik menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi atau melakukan tindakan yang melanggar hukum. Dalam kasus ini, sebagai bupati menggunakan jabatannya untuk menjalankan tindak perbudakannya tanpa adanya pengawasan. Pada dasarnya kekuasaan harus dijalankan berdasarkan prinsip legalitas dan rasionalitas. Namun, kasus ini menunjukkan kegagalan birokrasi dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pejabat publik. Ditambah lagi, mayoritas dari korban berasal dari kelompok masyarakat marginal yang memiliki akses terbatas terhadap keadilan, sehingga menciptakan ketimpangan kekuasaan yang memungkinkan eksploitasi terhadap mereka tanpa perlawanan yang memadai.
2.Lemahnya Pengawasan
   Good governance mengharuskan adanya transparansi, akuntabilitas, dan penegakan supremasi hukum. Dalam kasus ini, kurangnya pengawasan dari pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil memungkinkan aktivitas ilegal tersebut terus terjadi dalam waktu yang lama. Perlu adanya mekanisme dalam sistem pemerintahan yang dirancang untuk memastikan adanya pengawasan dan keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Mekasnisme tersebut bertujuan mencegah konsentrasi kekuasaan di satu pihak dan menghindari adanya penyalahgunaan wewenang.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya kasus seperti ini:
1.Peningkatan Pengawasan
   Pengawasan terhadap pejabat publik harus lebih diperketat, terutama melalui lembaga-lembaga yang independen seperti Ombudsman dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua lembaga ini memiliki peran penting dalam memastikan pejabat negara bertindak sesuai dengan aturan dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Pengawasan juga perlu melibatkan masyarakat yang lebih luas, termasuk media, yang dapat memberikan perhatian terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, perlu ada mekanisme pelaporan yang aman bagi masyarakat untuk melaporkan dugaan penyimpangan yang terjadi dalam pemerintahan.
2.Edukasi HAM dan Supremasi Hukum
   Penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai hak asasi manusia (HAM) serta mekanisme untuk melaporkan pelanggaran. Hal ini akan membantu meningkatkan kesadaran publik mengenai hak-hak dasar mereka dan bagaimana cara melindunginya. Selain itu, masyarakat perlu dilatih agar lebih peka terhadap tindakan yang melanggar hukum dan tidak ragu untuk melaporkan kejadian yang mereka anggap melanggar aturan atau merugikan banyak orang. Edukasi ini bisa dimulai dari tingkat pendidikan dasar, hingga pendidikan tinggi, serta melalui program-program penyuluhan yang melibatkan berbagai kalangan masyarakat.
3.Reformasi Birokrasi
   Reformasi birokrasi perlu dilakukan agar sistem pemerintahan lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Untuk itu, diperlukan perubahan dalam cara rekrutmen pegawai negeri yang lebih mengutamakan kemampuan dan integritas, bukan berdasarkan hubungan politik atau afiliasi. Proses ini harus disertai dengan penguatan sistem yang memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi terkait kebijakan publik dan penggunaan anggaran negara. Selain itu, penting untuk mengurangi ruang untuk penyalahgunaan wewenang dengan memperkenalkan sistem digital dalam pelayanan publik yang lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
4.Penegakan Hukum
   Penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu merupakan kunci untuk mengurangi praktik penyalahgunaan kekuasaan. Aparat penegak hukum harus berperan secara profesional, tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat lembaga-lembaga hukum yang independen, seperti pengadilan dan kejaksaan, agar mereka dapat bekerja dengan objektif. Hukuman yang tegas dan proporsional terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik, juga dapat memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kasus serupa. Selain itu, masyarakat harus didorong untuk aktif memberikan informasi atau melaporkan tindakan yang mencurigakan, yang dapat memperkuat penegakan hukum dan menciptakan pemerintahan yang bersih.
   Kasus krangkeng Bupati Langkat menjadi contoh nyata bagaimana kekuasaan yang tidak terkendali dapat merusak sistem hukum dan melanggar hak asasi manusia. Fenomena ini bukan semata kesalahan individu, tetapi juga mencerminkan kelemahan dalam sistem pengawasan, adanya ketimpangan sosial, serta budaya feodalisme yang masih mengakar. Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, diperlukan solusi yang menyeluruh, termasuk penguatan sistem pengawasan dan penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik secara konsisten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H