Diakhir pembicaraan, beliau hanya berpesan: "Kalimat Bismillahirrahmanirrahimi dulu kamu selami dan amalkan, sebelum kami amalkan kitab-kita kuning yang dikaji di pesantren selama ini". Beliau pun menegaskan: "Mau tanya kitab apa ke saya, tapi disini bukan tempatnya belajar kitab, cukup di pesantren yang lain saja".
Sebagaimana biasanya, beliau nyaris tidak pernah berpanjang-panjang penjelasan terkait ilmu apa yang disampaikan kepada saya. Hal itu pun ternyata berlaku pula kepada siapa pun yang datang ke Sangkali, pasti selalu begitu. Dari sikap itu, tanpa disadari saya diajari untuk jangan terlalu berbanyak kata bila perilaku kita malah "jauh panggang dari api", bahkan sama sekali tidak praktekkan atas apa yang diucapkan.
Selanjutnya, saya bersyukur diajari Aa Uman ilmu "Syahadat Tingkat Rasa" yang saya tidak temukan ditempat lain: Ilmu itu mengajarkan bahwa persoalan musyahadah (persaksian) kita kepada Allah harus senantiasa diimbagi dengan mengaitkan prilaku hidup sehari-hari kepada tirakatnya orang tua, keluarga terdekat, aktifitas pekerjaan dan lainnya sehingga ia tidak mengalami disorientasi nilai ruhani kita kepada Allah Swt. Spritualitas itulah yang diajarkan kepada saya atau bahkan kepada santri dan orang-orang yang pernah sowan kepada beliau.
Melalui ilmu "Syahadat Tingkat Rasa" ini menegaskan bahwa hubungan kita terhadap Allah Swt harus senantiasa diimbangi dengan hubungan kita dengan sesama makhluk. Tidak ada yang layak memiliki sikap sombong, paling bersih apalagi merasa paling benar sendiri.
Relasi manusia dengan Tuhan ditentukan dengan relasi kita dengan sesama makhluk. Karenanya, Aa Uman tidak pernah mengajarkan saya soal formalisme agama, menurutnya kesejatian itu lahir bukan dari formalisme simbol-simbol. Jangan pernah mengevaluasi orang lain, sebelum jasad ini dievaluasi diri sendiri.
Cara pandang Aa Uman terhadap kehidupan beragama sangat luas, tidak membatasi dirinya dengan sekat perbedaan keyakinan. Kami pun diajari untuk "menghancurkan" sekat perbedaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Pesan beliau: "Bahwa kemuliaan dihadapan Allah diukur dari ketakwaan kita, bukan atas dasar perbedaan apapun" itulah yang hingga saat ini saya pegang teguh. Wallahu'alam bi ash-showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H