Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aa Uman, Ayah Ideologis dan Guru Rohani (Bagian II)

29 Juli 2020   22:54 Diperbarui: 29 Juli 2020   22:44 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak lama setelah terpilih menjadi ketua umum PC PMII Kab. Tasikmalaya masa khidmat 2004-2005 saya langsung sowan ke Sangkali untuk menyampaikan rencana acara pelantikan pengurus baru, sekalian mengundang beliau untuk hadir. Yang membuat bahagia tak kepalang, beliau menyatakan siap hadir.

Acara pelantikan saat itu diwarnai dengan rencana "chaos" yang dilakukan sahabat-sahabat PMII Cipasung yang katanya tidak puas atas hasil Konfercab. Menjelang saya menyampaikan sambutan sebagai ketua umum terpilih, saya dibisiki seseorang dengan inisial HF untuk mengikutinya menemui DS. Saya pun menyanggupi permintaanya.

Ketika tiba ke tempat  yang HF inginkan, disana saya langsung diinterogasi DS untuk segera memberhentikan acara pelantikan. Tanpa menyempatkan duduk, saya menolak permintaan itu dan langsung menuju ke tempat acara untuk melanjutkan acara.

Selidik demi selidik, ternyata rencana aksi membubarkan acara pelantikan itu disponsori oleh Kang MH, senior yang baru "pulang kampung" dari Jakarta. Saya mengetahui itu dari Aa Uman yang cerita kepada saya bahwa beliau bertemu langsung dengan Kang MH yang dulu "diselamatkan" Aa Uman atas status DPO rezim orde baru paska kerusuhan "Tasik Kelabu" tahun 1996.

Akhirnya, saya menyadari bahwa Aa Uman sengaja datang acara pelantikan itu untuk "membatalkan" rencana Kang MH yang ingin membuat kacau acara itu. Diakhir acara pelantikan, sebelum Aa Uman beranjak dari lokasi kegiatan, beliau berujar: "Sok teruskeun, ulah sieun ku jurig" (Lanjutkan saja, jangan takut sama hantu". Analogi itu langsung saya fahami, dan tanpa ada pertanyaan saya pun berucap terima kasih kepada beliau atas kehadirannya.

Tidak lama setelah acara pelantikan, saya menyempatkan sowan ke Sangkali bareng sahabat Devi Zenal Muttaqin dengan menaiki motor "Honda Bektu" miliknya. Saat bertemu Aa, saya agak terkejut ketika beliau menceritakan pengalaman hidup dan spiritualnya di Godebag. Tanpa ada penjelasan, selama Aa cerita panjang saya malah memikirkan apa sebenarnya Godebag itu.

Mungkin karena melihat saya agak melamun, akhirnya beliau pun menjelaskan bahwa Godebag itu Pesantren Suryalaya sebagai pusat Thariqhah Qadiriyyah wa Naqsabandiyah (TQN). Dalam hati saya berguman: "Kok nyambung yaa, Aa bisa tau bahwa saya pernah baiat TQN Suryalaya". Akhirnya saya pun cerita bahwa saya pernah dibaiat TQN tahun 2000 di Suryalaya. 

Ditengah obrolan, beliau menyampaikan pesan untuk senantiasa meluruskan niat dalam melakukan hal apapun. Apalagi menjadi pimpinan sebuah organisasi mahasiswa yang secara kultural dan historis beririsan dengan Jamiyyah Nahdlatul Ulama. Hal itu berkaitan dengan pertanggungjawaban kita kepada orang-orang yang dipimpin dan lebih jauh kepada Allah Swt.

Layaknya Ayah

Saat awal menjabat ketua Umum PC PMII Kab. Tasikmalaya sejak bulan Juni 2004, saat itu pula saya meninggali sekretariat PC PMII di kawasan Nagarawangi yang kami sewa untuk satu periode kepengurusaan. Mungkin karena alasan itu, Aa menitipkan Anton (anak sulung Aa Uman) untuk sementara waktu tinggal di sekretariat sebelum mendapatkan tempat kost ketika hendak masuk kuliah di Universitas Siliwangi.

Tentu senang dipasrahi amanat itu, karena secara tidak langsung saya diposisikan sebagai anak beliau yang ditugasi membimbing dan mengawasi seorang adik. Bahkan, Aa Uman pernah dengan sengaja singgah ke sekretariat hanya ingin melihat kondisi kami sekalian hendak menengok Anton. Lebih senangnya lagi, beliau membawa buah tangan disaat yang tepat dimana kami sedang dalam keadaan lapar.

Karena perlakukan beliau kepada saya dan sahabat lain tak ubahnya seperti terhadap anak sendiri, begitupun sebaliknya saya pun menganggap beliau sebagai ayah sendiri. Dalam beberapa kesempatan saya menjadi tidak sungkan untuk mengutarakan dan berkonsultasi terkait persoalan peribadi, sekaligus meminta saran terkait masa depan yang akan saya jalani.

Hubungan kami semakin tidak ada jarak, saking dekatnya ketika saya mengalami "putus cinta" saat menjelang lengser dari ketua PC PMII beliaulah yang menguatkan dan mensupport saya bahwa soal jodo, pati, bagja, cilaka itu urusan Allah. "Kawas anu teu boga Allah wae (kayak yang tidak punya Tuhan saja)", kalimat itulah yang selalu terungkap dari mulut beliau tatkala saya megalami problem pribadi.

Berlanjut pada saat saya hendak mengahiri masa lajang pada tahun 2009, sebelum nikah. Tanpa sungkan saya memohon restu dan dido'akan terkait rencana pernikahan itu ke Sangkali, terlebih status saya sebagai "pengangguran".

Kehadiran beliau bersama teteh pada resepsi pernikahan kami, menguatkan saya bahwa urusan rezeki bukan kita yang ngatur, tetapi mutlak Allahlah yang memiliki otoritas itu. Ada perkataan beliau yang masih terngiang ditelinga saya hingga kini: "Geus kawin mah rezeki the bakal dibere dobel (bila sudah menikah rezeki yang Allah berikan akan berlipat".

Tidak hanya itu, saya diajarkan beliau untuk senantiasa merawat hubungan dengan kawan seiring meskipun tak jarang diluputi perbedaan pandangan. Beliau pula mengajarkan untuk senantiasa memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada sesama pengurus cabang, pengurus komisariat dan kader PMII untuk memanfaatkan segala potensinya.

Obrolan Aa Uman tentang Pondok Pesantren Suryalaya tadi yang menguatkan saya untuk mendirikan Komisariat PMII di Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyyah (IAILM) Suryalaya. Sebelum saya melakukan rencana itu, terlebih dahulu meminta restu beliau.

Sekali lagi, tidak hanya urusan pribadi, urusan organisasi pun beliau sangat terbuka dan senantiasa memberikan motivasi sehingga memunculkan optimisme. Selama saya menjalankan kepemimpinan di PC PMII Kab. Tasikmalaya, selama itulah saya senantiasa dibimbing beliau layaknya ayah kepada anaknya.

Guru Rohani

Dalam aspek rohani, beliau tidak pernah berhenti mengamantkan pentingnya menjalani fase kehidupan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Tak jarang dalam menjelaskannya pun beliau selalu menuliskannya pada secarik kertas. Imu yang saya dapatkan diantaranya kedalaman makna kalimat basmalah.

Daiwali dengan menuliskan kalimat Basmalah, lalu beliau membahsnya dengan detail bahwa dalam kalimat itu tersirat makna syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Mulai dari huruf ba lafadz Bismi hingga mim lafadz Arrahimi.

Menurutnya, huruf Ba disitu mengandung makna niat dari proses syariat. Segala prilaku kehidupan itu harus ditujukan kepada niat mencari ridlo Allah setelah lafadz Ismi. Disitulah ruang tarekat yang berujung kepada mewujudkan sifat Rahman dan Rahim Allah dalam kehidupan sehari-hari dalam ruang, situasi dan kondisi apapun.

Diakhir pembicaraan, beliau hanya berpesan: "Kalimat Bismillahirrahmanirrahimi dulu kamu selami dan amalkan, sebelum kami amalkan kitab-kita kuning yang dikaji di pesantren selama ini". Beliau pun menegaskan: "Mau tanya kitab apa ke saya, tapi disini bukan tempatnya belajar kitab, cukup di pesantren yang lain saja".

Sebagaimana biasanya, beliau nyaris tidak pernah berpanjang-panjang penjelasan terkait ilmu apa yang disampaikan kepada saya. Hal itu pun ternyata berlaku pula kepada siapa pun yang datang ke Sangkali, pasti selalu begitu. Dari sikap itu, tanpa disadari saya diajari untuk jangan terlalu berbanyak kata bila perilaku kita malah "jauh panggang dari api", bahkan sama sekali tidak praktekkan atas apa yang diucapkan.

Selanjutnya, saya bersyukur diajari Aa Uman ilmu "Syahadat Tingkat Rasa" yang saya tidak temukan ditempat lain: Ilmu itu mengajarkan bahwa persoalan musyahadah (persaksian) kita kepada Allah harus senantiasa diimbagi dengan mengaitkan prilaku hidup sehari-hari kepada tirakatnya orang tua, keluarga terdekat, aktifitas pekerjaan dan lainnya sehingga ia tidak mengalami disorientasi nilai ruhani kita kepada Allah Swt. Spritualitas itulah yang diajarkan kepada saya atau bahkan kepada santri dan orang-orang yang pernah sowan kepada beliau.

Melalui ilmu "Syahadat Tingkat Rasa" ini menegaskan bahwa hubungan kita terhadap Allah Swt harus senantiasa diimbangi dengan hubungan kita dengan sesama makhluk. Tidak ada yang layak memiliki sikap sombong, paling bersih apalagi merasa paling benar sendiri.

Relasi manusia dengan Tuhan ditentukan dengan relasi kita dengan sesama makhluk. Karenanya, Aa Uman tidak pernah mengajarkan saya soal formalisme agama, menurutnya kesejatian itu lahir bukan dari formalisme simbol-simbol. Jangan pernah mengevaluasi orang lain, sebelum jasad ini dievaluasi diri sendiri.

Cara pandang Aa Uman terhadap kehidupan beragama sangat luas, tidak membatasi dirinya dengan sekat perbedaan keyakinan. Kami pun diajari untuk "menghancurkan" sekat perbedaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Pesan beliau: "Bahwa kemuliaan dihadapan Allah diukur dari ketakwaan kita, bukan atas dasar perbedaan apapun" itulah yang hingga saat ini saya pegang teguh. Wallahu'alam bi ash-showab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun