Tak terasa empat puluh hari sudah KH. U. Lukmanul Hakim pengasuh Paguon Nurul Gholabah Sangkali Cogreg Kec. Cikatomas Kab. Tasikmalaya meninggalkan kami. Aa Uman (sebutan saya kepada beliau) adalah guru sekaligus orang tua yang telah membimbing saya mengenali jalan menjadi manusia rohani, tentu dengan metodenya sendiri.
Pertama kali saya mendengar kata Aa Uman dari sahabat Hasan As'yarie, Heni Hendini, Devi Zaenal Muttaqin dan Basir Kuswandi yang kala itu sama-sama menjadi Pengurus Cabang PMII Tasikmalaya periode 2002-2003 dimana Sahabat Hasan sebagai ketua umumnya. Kata-kata itu semakin akrab ditelinga saya karena tidak jarang disebut setiap kali berdiskusi dan melakukan program kerja pengurus cabang ditengah segala keterbatasan, maklum saat itu kami sama-sama tinggal di sekretariat PMII.
Kali pertama saya dikenalkan kepada Aa Uman oleh sahabat Basir dan Devi. Saat itu saya menghampiri beliau yang kebetulan berada di salah satu sudut kantor PCNU Kota Tasikmalaya, dimana sekretariat PMII Tasikmalaya berada didalam kawasan itu. Beliau mengenakan jaket loreng, berambut panjang, celana jeans hitam, sepatu janggel, dan kaca mata hitam yang diselipkan dikaos oblong warna hitam.
Selepas saya diajak cium tangan beliau oleh sahabat Basir, dalam hati saya bergumam: "Ooh ini rupanya orang seringkali disebut-sebut dalam obrolan santai kami di sekre PMII, yang katanya kiai". Tanpa berpikir panjang, saya pun merasa bahagia karena disempatkan bertemu dengan orang yang namanya tersimpan dalam memori otak saya itu.
Pertemuan itu terjadi sesaat setelah kami melakukan pengecekan akhir bioskop Garuda, sebuah gedung tua dibilangan jalan dokter Soekarjo Kota Tasikmalaya sebagai lokasi penyelenggaraan kegiatan "Tasik Berisik" yang merupakan gawe bareng PC. PMII Tasikmalaya dengan "Komunitas Punk Dokar" melibatkan anak Punk dari berbagai daerah: Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan lainnya.
Masa-masa itu saya sendiri sudah memasuki semester akhir di Institut Agama Islam Cipasung, kampus tempat saya kuliah. Selain itu, dengan dukungan dari KH. Oban Hidayat pengasuh ponpes Nurul Hasanah Selebu Cipasung tempat saya mondok, saat libur ngaji atau setiap weekend saya memohon izin kiai Oban untuk melakukan aktifitas organisasi di PC PMII Tasikmalaya. Selama itu pula, nama Aa uman dan Sangkali menjadi akrab ditelinga saya, apalagi sudah sempat bertemu.
Karena penasaran, suatu saat saya meminta ke Sahabat Hasan (mas Hasan) untuk mengajak saya bila hendak sowan ke Aa Uman, maklum mas Hasan sudah sering sowan ke sana. Keinginan saya pun kesampaian, hari Kamis pagi kami janjian di Dokar untuk berangkat sowan ke Sangkali Cikatomas. Usai sholat Ashar kami langsung bergegas ke terminal Padayungan menggunakan angkot untuk ngejar naik bis TKM jurusan Tasikmalaya-Tawang.
Cerita Perjalanan
Kami tidak beruntung saat itu, karena bis yang dimaksud sudah lebih dahulu jalan. Akhirnya kami naik bis jurusan Tasik-Cikalong. Karena jalan mulai dari Urug hingga Cikatomas waktu itu belum beraspal hotmix, laju bis pun tidak bisa cepat. Walhasil, kami tiba di pamegatan yang kini berdiri POM bensin satu-satunya Cikatomas itu pukul 21.00. Sementara, dari situ ke Sangkali masih membutuhkan waktu lebih dari satu jam, apalagi saat itu jalan dari Pamegatan ke Sangkali masih tidak layak. Karena sudah tidak tersedia mobil angkutan umum, terpaksa kami menggunakan jasa ojeg yang mangkal disana.
Tanpa menunggu lama, kamipun dihampiri tukan ojeg disambut mas Hasan dengan perkataan: "ke a uman mang". Karena keterbatasan uang saat itu, kami berdua hanya bisa naik satu motor ojek, saya duduk ditengah diapit mang ojek dan mas Hasan. Sepanjang perjalanan kami bertiga ngobrol ngalor ngidul, jalan bergelombang pun nyaris tidak terasa lekuk-lekuknya. Akhirnya, kami tiba di Sangkali pukul 23.00, suasana kampung yang jauh dari keramaian betul-betul bisa kami nikmati saat itu.
Rasa ngantuk dan lelah selepas perjalanan lebih dari enam jam dari Tasik ke Sangkali menjadi hilang tatkala kami berdua bertemu muka dengan Aa Uman yang saat itu baru selesai riyadoh rutin malam jum'at bersama para santri paguron Nurul Gholabah. Kami pun langsung menghampiri sebuah saung beratap rumbia yang berdiri diatas kolam tak jauh dai rumahnya. Sebelum ngobrol apapun, tanpa jeda Aa langsung menyuruh kami makan layaknya dirumah sendiri. "Geus nepi kadieu mah ulah namu" (sudah sampai sini jangan bertindak sebagai tamu), kata Aa.
Bila tidak keliru, sowan itu dalam rangka menghadapi kegiatan "Sahur Keliling" bersama Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid isterinya Gus Dur bekerja sama dengan tokoh dan umat lintas agama di Tasikmalaya pada bulan Ramadhan tahun 2002. Jauh-jauh sebelum digelar, rupanya rencana kegiatan yang berlokasi di halaman Gereja Katholik Hati Kudus Yesus itu informasinya telah menyebar dilingkungan PCNU Kota Tasikmalaya.
Walhasil, pengurus PC PMII Tasikmalaya saat itu tak jarang mendapatkan cibiran dari sesama anggota keluarga Dokar 47. Bahkan, secara pribadi ketua PCNU Kota Tasikmalaya kala itu almarhum KH. Dudung Akasah memanggil dan meminta tabayyun mas Hasan sebagai ketua cabang PMII Tasikmalaya terkait informasi kegiatan itu. Atas berbagai pertimbangan, akhirnya Kiai Dudung pun merestui bahkan mensupport kegiatan itu. Persoalan inilah yang disampaikan mas Hasan saat sowan ke Aa Uman.
Sebagai orang yang mendampingi obrolan itu, saya nguping perkataan Aa Uman ke Mas Hasan: "Sing yakin kana jalan anu dianggap bener ku urang" (harus yakin atas jalan yang dianggap benar oleh kita). Diakhir pembicaraan saya diberikan amanah oleh Aa Uman untuk senantiasa membantu dan setia mendampingi rencana kegiatan sahur keliling PC PMII Tasikmalaya itu.
Lebih dari itu, saya diminta mendukung setiap langkah dan kebijakan ketua cabang (Mas Hasan). Saat itu pula saya mendapatkan cerita dari Aa Uman terkait Kang Abdul Muis (Alm), Kang Mimih dan senior PMII lainnya yang "diselamatkan" Aa Uman di Sangkali paska kerusuhan Tasikmalaya tahun 1996.
Mungkin karena sowan perdana dan masih sungkan, tidak banyak yang saya diutarakan kepada AA. Tak terasa perbincangan pun terjadi hingga larut malam, saya pribadi pamit untuk istirahat duluan. Pagi esok harinya, kami pun berkesempatan sarapan bareng sebelum pamitan kembali ke kota Tasikmalaya. Pertemuan itu menyiratkan kesan mendalam, saya serasa menemukan "ayah baru", selain ayah biologis di kampung kelahiran guru dan panutan baru selain Almaghfurlah KH. Moh. Ilyas Ruhiat pengasuh Ponpes Cipasung dan Rektor saya di IAI-Cipasung.
Ayah Ideologis dan Guru Rohani
Meski baru dua kali bertemu, saya pun telah merasa menjadi "anak ideologis"-nya Aa Uman. Saat sowan ke Sangkali bareng Mas Hasan saya diamanahi tentang loyalitas terhadap pimpinan. Karenanya, saat saya diresufle dari kepengurusan PC PMII Tasikmalaya oleh Mas Hasan, sedikitpun saya tidak protes dan tidak membuat saya meninggalkan Dokar 47. Padahal situasi saat itu sedang hangat-hangatnya kampus di Cipasung (IAIC, STTC dan STIE) yang menghendaki pembentukan Cabang PMII Kab. Tasikmalaya.
Saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kec. Cikalong Kab. Tasikmalaya pada pertengahan tahun 2003, saya menyempatkan diri untuk sowan ke Sangkali mungpung jarak Cikalong-Sangkali tidak sejauh jarak Tasikmalaya-Sangkali. Dalam pertemuan itu saya berkesempatan memohon do'a kepada beliau terkait KKN yang dilaksanakan di wilayah pesisir pantai dengan tipologi orangnya keras. Aa Uman menyemangati: "Tong sieun, Cikalong mah loba ajengan anu sok kadarieu (Sangkali)"(Jangan takut, banyak kiai dari Cikalong yang sering ke Sangkali).
Saat itu pula saya berkesempatan menyampaikan kegundahan hati atas pengalaman di pondok pesantren tempat saya nyantri. Dari sekian hal yang saya utarakan, jawaban beliau hanya ini: "Sing yakin kana diri, soal kabeneran mah kumaha kayakinan diri. Sanajan ajengan pinter ngaji kitab, ari teu mere picontoeun mah teu kudu dianggap kabeneran. Soal manfaat elmu mah teu ditangtukeun ku manusa, tapi ku Allah Swt (Harus yakin atas diri, soal kebenaran itu tergantung keyakinan diri sendiri. Meskipun kiai pintar baca kitabnya, tapi ia tidak memberikan keteladanan tidak mesti dianggap benar. Soal manfaat ilmu tidak ditentukan oleh manusia, tetapi oleh Allah Swt)".
Dari percakapan itu, saya merasa menemukan jawaban atas kegundahan yang dialami itu. Padahal selama percakapan beliau sama sekali tidak mengungkapkan dalil Al-Qur'an atau Hadist sama sekali. Saya bersyukur menemukan jawaban itu saat menjelang masa transisi seiring akan selesainya pendidikan S1. Tidak lama usai KKN saya melaksanakan sidang skripsi dan wisuda pada tanggal 25 September 2003. Â Walhasil, hantu "sarjana nganggur" pun mampu saya hadapi meski paska wisuda saya masih harus menjalani kewajiban sebagai pengurus PC PMII Tasikmalaya periode 2003-2004 dengan Sahabat Heni Hendiri ketua umumnya.
Tidak lama setelah diwisuda, saya pamit izin ke ayah dikampung untuk kembali ke Tasikmalaya. Padahal waktu ada seseorang yang minta ayah saya untuk mendirikan yayasan dan madrasah pada lahan yang sudah beliau wakafkan. Jawaban saya sederhana: "Saya belum siap pak". Karena dianggap tidak bersedia, lalu ayah meminta saya untuk mendaftarkan diri CPNS di Departemen Agama (saat itu belum kementerian) Kab. Bandung. Saya pun menjawab: "Tidak ah pak, bukan jiwa saya menjadi abdi negara". Akhirnya, ayah pun mengizinkan saya untuk kembali ke Tasikmalaya meneruskan aktifitas organisasi di PMII.
Gayung bersambut, Ijazah salah satu ayat Al-Qur'an yang hingga kini saya bacakan usai melaksanakan shalat fardlu dari Aa lah yang menguatkan itikad saya atas permohonan izin kepada ayah dikampung untuk ngabdi di PMII. Karenanya, mendapatkan amanah konfercab menjadi ketua umum PC PMII Kab. Tasikmalaya periode 2004-2005.
