Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Aa Uman; Ayah Ideologis dan Guru Rohani (Bagian I)

20 Juli 2020   11:46 Diperbarui: 20 Juli 2020   11:58 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila tidak keliru, sowan itu dalam rangka menghadapi kegiatan "Sahur Keliling" bersama Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid isterinya Gus Dur bekerja sama dengan tokoh dan umat lintas agama di Tasikmalaya pada bulan Ramadhan tahun 2002. Jauh-jauh sebelum digelar, rupanya rencana kegiatan yang berlokasi di halaman Gereja Katholik Hati Kudus Yesus itu informasinya telah menyebar dilingkungan PCNU Kota Tasikmalaya.

Walhasil, pengurus PC PMII Tasikmalaya saat itu tak jarang mendapatkan cibiran dari sesama anggota keluarga Dokar 47. Bahkan, secara pribadi ketua PCNU Kota Tasikmalaya kala itu almarhum KH. Dudung Akasah memanggil dan meminta tabayyun mas Hasan sebagai ketua cabang PMII Tasikmalaya terkait informasi kegiatan itu. Atas berbagai pertimbangan, akhirnya Kiai Dudung pun merestui bahkan mensupport kegiatan itu. Persoalan inilah yang disampaikan mas Hasan saat sowan ke Aa Uman.

Sebagai orang yang mendampingi obrolan itu, saya nguping perkataan Aa Uman ke Mas Hasan: "Sing yakin kana jalan anu dianggap bener ku urang" (harus yakin atas jalan yang dianggap benar oleh kita). Diakhir pembicaraan saya diberikan amanah oleh Aa Uman untuk senantiasa membantu dan setia mendampingi rencana kegiatan sahur keliling PC PMII Tasikmalaya itu.

Lebih dari itu, saya diminta mendukung setiap langkah dan kebijakan ketua cabang (Mas Hasan). Saat itu pula saya mendapatkan cerita dari Aa Uman terkait Kang Abdul Muis (Alm), Kang Mimih dan senior PMII lainnya yang "diselamatkan" Aa Uman di Sangkali paska kerusuhan Tasikmalaya tahun 1996.

Mungkin karena sowan perdana dan masih sungkan, tidak banyak yang saya diutarakan kepada AA. Tak terasa perbincangan pun terjadi hingga larut malam, saya pribadi pamit untuk istirahat duluan. Pagi esok harinya, kami pun berkesempatan sarapan bareng sebelum pamitan kembali ke kota Tasikmalaya. Pertemuan itu menyiratkan kesan mendalam, saya serasa menemukan "ayah baru", selain ayah biologis di kampung kelahiran guru dan panutan baru selain Almaghfurlah KH. Moh. Ilyas Ruhiat pengasuh Ponpes Cipasung dan Rektor saya di IAI-Cipasung.

Ayah Ideologis dan Guru Rohani

Meski baru dua kali bertemu, saya pun telah merasa menjadi "anak ideologis"-nya Aa Uman. Saat sowan ke Sangkali bareng Mas Hasan saya diamanahi tentang loyalitas terhadap pimpinan. Karenanya, saat saya diresufle dari kepengurusan PC PMII Tasikmalaya oleh Mas Hasan, sedikitpun saya tidak protes dan tidak membuat saya meninggalkan Dokar 47. Padahal situasi saat itu sedang hangat-hangatnya kampus di Cipasung (IAIC, STTC dan STIE) yang menghendaki pembentukan Cabang PMII Kab. Tasikmalaya.

Saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kec. Cikalong Kab. Tasikmalaya pada pertengahan tahun 2003, saya menyempatkan diri untuk sowan ke Sangkali mungpung jarak Cikalong-Sangkali tidak sejauh jarak Tasikmalaya-Sangkali. Dalam pertemuan itu saya berkesempatan memohon do'a kepada beliau terkait KKN yang dilaksanakan di wilayah pesisir pantai dengan tipologi orangnya keras. Aa Uman menyemangati: "Tong sieun, Cikalong mah loba ajengan anu sok kadarieu (Sangkali)"(Jangan takut, banyak kiai dari Cikalong yang sering ke Sangkali).

Saat itu pula saya berkesempatan menyampaikan kegundahan hati atas pengalaman di pondok pesantren tempat saya nyantri. Dari sekian hal yang saya utarakan, jawaban beliau hanya ini: "Sing yakin kana diri, soal kabeneran mah kumaha kayakinan diri. Sanajan ajengan pinter ngaji kitab, ari teu mere picontoeun mah teu kudu dianggap kabeneran. Soal manfaat elmu mah teu ditangtukeun ku manusa, tapi ku Allah Swt (Harus yakin atas diri, soal kebenaran itu tergantung keyakinan diri sendiri. Meskipun kiai pintar baca kitabnya, tapi ia tidak memberikan keteladanan tidak mesti dianggap benar. Soal manfaat ilmu tidak ditentukan oleh manusia, tetapi oleh Allah Swt)".

Dari percakapan itu, saya merasa menemukan jawaban atas kegundahan yang dialami itu. Padahal selama percakapan beliau sama sekali tidak mengungkapkan dalil Al-Qur'an atau Hadist sama sekali. Saya bersyukur menemukan jawaban itu saat menjelang masa transisi seiring akan selesainya pendidikan S1. Tidak lama usai KKN saya melaksanakan sidang skripsi dan wisuda pada tanggal 25 September 2003.  Walhasil, hantu "sarjana nganggur" pun mampu saya hadapi meski paska wisuda saya masih harus menjalani kewajiban sebagai pengurus PC PMII Tasikmalaya periode 2003-2004 dengan Sahabat Heni Hendiri ketua umumnya.

Tidak lama setelah diwisuda, saya pamit izin ke ayah dikampung untuk kembali ke Tasikmalaya. Padahal waktu ada seseorang yang minta ayah saya untuk mendirikan yayasan dan madrasah pada lahan yang sudah beliau wakafkan. Jawaban saya sederhana: "Saya belum siap pak". Karena dianggap tidak bersedia, lalu ayah meminta saya untuk mendaftarkan diri CPNS di Departemen Agama (saat itu belum kementerian) Kab. Bandung. Saya pun menjawab: "Tidak ah pak, bukan jiwa saya menjadi abdi negara". Akhirnya, ayah pun mengizinkan saya untuk kembali ke Tasikmalaya meneruskan aktifitas organisasi di PMII.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun