Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gus Dur, Guru Ngaji dan Gus Muhaimin

22 Mei 2020   11:36 Diperbarui: 22 Mei 2020   11:32 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid  (Gus Dur) pada hari Rabu tanggal 20 Oktober 1999 sebagai presiden RI ke-4 yang dipilih secara demokratis sontak merubah citra dan fenomena kiai dengan sangat drastis. Dunia kiai dan pesantren yang dikenal dunia penuh damai, sopan santun, sumber ilmu, religius dan tertutup berubah image-nya menjadi sangat terbuka dan adaptif terhadap setiap perubahan zaman termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berkat Gus Durlah kiai pesantren, kiai surau, kiai kampung dan guru-guru ngaji menjadi sangat terbuka ngobrol politik. Dimana pada era Orde Baru, jangankan ngomongin politik, berkumpul dalam satu majelis pengajian saja bisa dicurigai sebagai tindakan makar.

Bukan hanya simbol pendobrak kejumudan, Gus Dur telah membuktikan dan menegaskan kepada publik bahwa kiai NU baik di pesantren, mesjid, surau dan pengajian-pengajian memiliki corak keagamaan yang baik dari sisi metodologi pembelajaran yang dikembangkan, madzhab keagamaan yang dianut, pilihan sikap politik bahkan manajemen kelembagaan yang dimilikinya meskipun mereka tinggal dipedesaan.

Gus Dur telah mampu menyadarkan narasi "politik itu kotor" pada kalangan kiai dilevel kultural yang dihembuskan oleh penguasa kala itu supaya kiai tidak terlibat politik praktis. Walhasil, tidak sedikit kiai yang melibatkan diri memberikan keteladanan bahwa politik merupakan jalan menebar manfaat dan maslahat bagi kepentingan masyarakat.

Sangat kuatnya relasi lahir dan batin Gus Dur dengan para kiai (pesantren, mesjid, surau, pengajian-pengajian di pedesaan) terbukti menjadi modal utama beliau memiliki legitimasi mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah politik warga NU yang mendulang 13,3 juta lebih suara pada pemilu 1999 dan kemudian menghantarkannya menjadi top leader negeri ini, sebagai presiden.

Penulis kira, sejak Gus Dur menjadi presiden dan pendiri PKB, pembahasan perilaku politik kiai pada ruang tradisinya secara otomatis telah menghantarkan pembentukan jaringan kultural kepada jaringan fungsional. Kiai menjadi faham bagaimana hubungan timbal balik antara kebutuhan kiai dan kebutuhan NU sebagai jamiyyahnya dan kebutuhan kiai untuk tetap survive mengembangkan institusi yang diampunya ditengah kehidupannya.

Dengan itu, kebutuhan politik baik pemilu legisatif, pemilu presiden, pemilukada dipandang sebagai konsekuensi logis memperjuangkan wasilah demi meraih maslahat untuk kepentingan publik secara lebih luas.

Atas segala prosesnya keterlibatannya, paling tidak kini kita bisa menglasifikasikan sikap politik kiai pada level tradisinya baik itu masuk pada kategori pragmatis, akomodatif, transformatif, dan mereka yang menghendaki prinsip-prinsip Islam ditegakkan.

Dalam konteks PKB, Gus Dur telah melahirkan kesadaran baru, bahwa kiai (pesantren, mesjid, surau, guru ngaji) sebagai jaringan kultural perlu diperkuat dengan jaringan fungsional PKB sebagai bagian terpisahkan dari sistem bernegara. Timbal baliknya, relasi fungsional PKB dengan jaringan kulturalnya harus mewujud dalam manfaat dan maslahat yang lahir.

Gus Dur senantiasa merawat silaturahim dan kedekatan dengan kiai kultural, menurutnya merekalah pilar utama gerakan politik PKB. Majelis Silaturahmi Ulama Rakyat (Masura) yang pernah beliau bentuk adalah wujud bahwa Gus Dur dan PKB tidak mau jauh-jauh dari mereka.

Guru Ngaji

Guru Ngaji, Gus Dur menyebutnya sebagai kiai kampung. Beberapa tahun lalu sempat muncul fatwa dari para ulama dan habaib sebagai hasil bahsul matsail mereka di Makah bahwa gelar kiai hanya bisa disematkan bagi yang memiliki pondok pesantren. Gus Dur pun meresponnya dengan enteng, menurutnya fatwa itu muncul karena banyak orang yang ingin disebut kiai, seperti: pengusaha, politisi, dan konglomerat yang mendirikan pondok pesantren.

Istilah kiai sendiri menurut Gus Dur lahir dari budaya tradisional Indonesia setelah runtuhnya Majapahit. Kiai disematkan pada benda bertuah, lurah, orang kaya dan lainnya. Dalam buku Ngobrol dengan Gus Dur dari Alam Kubur (Argawi Kandito) Gus Dur memberi tafsir, kiai artinya orang yang dianggap lebih dari orang lain yang kini diidentikkan dengan agama.

Zaman dulu kelebihannya bisa harta, orang kaya meskipun agamanya kurang bisa disebut kiai. Tidak hanya orang, benda juga disebut kiai karena karakteristik dan kelebihannya itu. Bahkan menurut Gus Dur, kerbau bule milik Kraton Kasunanan Surakarta saja dinamai Kiai Slamet.

Walhasil, menurut Gus Dur tergantung dari perspektif mana melihatnya. Bisa dari keilmuannya, kebijaksanaannya, keunikannya atau kesaktiannya. Berbeda dengan ulama yang secara umum karena pengetahuan syari'atnya mumpuni, sementara kiai lebih kuat dalam hal hakikat dan kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan dan lainnya.

Di desa-desa, definisi terakhir kiai sangat cocok disematkan kepada mereka yang setiap saat mengajar agama (ngaji) di pondok pesantren, mesjid, mushola, surau atau madrasah. Tidak hanya ngajar ngaji, pada setiap momen seremonial dan ritual keaagamaan ia selalu menjadi daftar undangan utama.

Sekedar contoh kecil, sejak usia akil baligh hingga tamat SMP penulis mendapatkan pengajaran baca tulis Al-Qur'an dari bapak sendiri. Sehari-hari bapak berdagang di pasar, dan sekali-kali bercocok tanam di kebun.

Tidak hanya itu, selain imam di mesjid, beliau senatiasa memenuhi undangan warga untuk memimpin ritual tasyakuran warga, mulai dari acara lamaran, perkawinan, khitanan, hingga mimpin ritual mengurus jenazah sampai hari ketujuh rajaban mimpin bacaan Al-Barzanji dalam Muludan.

Boleh jadi gambaran itu relevan dengan apa yang telah didefinisikan Gus Dur, meskipun cara penyebutannya beragam, ada yang nyebut kiai, ustadz, ajengan, aang (sunda), ra, buya dan lain sebagainya sesuai dengan tradisi lokal daerah masing-masing.

Kedekatan guru ngaji, kiai kampung dengan warganya boleh jadi full 24 jam, tanpa menganal siang atau malam, panas atau hujan dan kondisi lainnya mereka selalu dibutuhkan. Bukan hanya perkara keagamaan, perkara sosial bahkan politik pun tak jarang dijadikan referensi.

Realitas inilah boleh jadi yang membuat kecintaan Gus Dur terhadap guru ngaji, kiai kampung tidak pernah luntur hingga akhir hayatnya. Kiprah mereka di masyarakat tentu mesti diapresiasi, terlebih Gus Dur merasa "berhutang budi" bahwa PKB tidak mungkin bisa berdiri dan memberi warna bagi kehidupan demokrasi Indonesia tanpa legitimasi mereka.

Yang lebih penting, Gus Dur telah mewariskan narasi baru bahwa tidak ada lagi dikotomi apakah mereka produk pesantren atau bukan, belajar di negeri barat atau timur tengah. Siapapun yang memberikan keteladan di masyarakat harus dibela. Persoalan ia menjadi pragmatis atau tidak karena keterlibatannya dalam dunia politik, masyarakat sendiri yang bisa menilai dan akan terkoreksi secara alamiah.    

Gus Muhaimin & Guru Ngaji

Akhir-akhir ini Gus Muhaimin, sebutan baru bagi H. A. Muhaimin Iskandar (Ketum PKB) mendistribusikan 300.000 paket sembako dan satu juta masker yang prioritas penyalurannya untuk guru ngaji di seantero nusantara, dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.

Bantuan itu dilakukan secara berjenjang, dikirimkan melalui DPW PKB untuk provinsi se-Indonesia, kemudian DPW meneruskannya ke DPC, dari DPC ke PAC dan terkahir melalui Ranting. Bila melihat paket yang didonasikan, bantuan itu diprioritaskan untuk guru ngaji dan boleh jadi tidak mencukupi.

Bila kita saksikan di platform media sosialnya PKB, baik di Facebook, Instagram, Twitter, akhir-akhir ini dibanjiri dengan postingan yang mendokumentasikan proses distribusi bantuan itu mulai dari Jakarta hingga ke pulau-pulau terpencil.

Tergambar jelas bagaimana perpindahan paket bantuan itu mulai dari bandara dan pelabuhan ke truk kontainer besar, kemudian berpindah ke mobil truk, lalu berpindah ke mobil mininus bak terbuka, terus ke motor roda dua hingga perahu sampan di wilayah perairan yang berakhir tiba di tangan para guru ngaji.

Terpancar jelas raut kebahagian para penerima paket itu, meskipun bagi sebagian kalangan menganggap bantuan itu nilainya tidak seberapa. Lebih dari itu, boleh jadi bagi kebanyakan guru ngaji di luar pulau Jawa baru kali ini mendapat bingkisan langsung dari tokoh nasional dan ketua partai sekelas Gus Muhaimin melalui kader-kadernya di desa-desa.

Selanjutnya, terlihat jelas dari dokumentasinya di medsos bahwa dalam proses pendistribusiannya pengurus PKB diberbagai tingkatan senantiasa bersinergi langsung dengan pengurus Nahdlatul Ulama sebagai ibu kandung PKB mulai dari provinsi hingga ranting pula.

Penulis kira, lain Gus Dur lain pula cara Gus Muhaimin dalam merawat silaturahim dengan guru ngaji (kiai kampung). Bila Gus Dur melakukannya melalui Masura (meskipun masih terkonsentrasi di pulau jawa), Gus Muhaimin melakukannya dengan cara memberikan bantuan paket sembako dan masker hingga ke pelosok negeri.

Meskipun demikian, keduanya mengandung esensi yang sama, yakni menguatkan ikatan lahir batin Gus Muhaimin dan PKB dengan guru ngaji di pelosok negeri. Prestasi terbaik PKB dengan raihan 13,5 juta lebih suara pada pemilu 2019 sejak keterlibatannya menjadi peserta pemilu tahun 1999 tidak terlepas dari kiprah guru ngaji melalui peran sosial-politik dan keteladanannya di tengah masyarakat.

Nampaknya bukan karena pandemi Covid-19 yang menjadi alasan, donasi itu dilakukan Gus Muhaimin sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih PKB atas raihan prestasi terbaiknya sehingga kini suara PKB lebih signifikan dan merata di semua pulau di Indonesia. Hanya momentumnya saja yang kebetulan Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19 dan memasuki bulan Ramadan.

Tidak berlebihan rupanya bila Gus Muhaimin merupakan satu-satunya ketua partai dan tokoh nasional yang melakukan donasi model itu dengan melibatkan jejaring fungsional PKB sehingga bantuannya langsung diterima masyarakat hingga pelosok desa dan pulau-pulau terpencil.

'Ala kulli hal, Gus Muhaimin sedang mempraktekkan normal baru dan keteladan bagi seluruh kadernya dimanapun posisi, jabatan dan keberadaan wilayahnya, bahwa yang terpenting dari berpolitik di PKB adalah memberi manfaat dan maslahat sekecil apapun bagi konstituen dan seluruh elemen bangsa sebagaimana yang telah diwarisi Gus Dur dan pendiri partai ini. Wallahu'alam bi ash-showab.

Penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun