Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gus Dur, Guru Ngaji dan Gus Muhaimin

22 Mei 2020   11:36 Diperbarui: 22 Mei 2020   11:32 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru Ngaji, Gus Dur menyebutnya sebagai kiai kampung. Beberapa tahun lalu sempat muncul fatwa dari para ulama dan habaib sebagai hasil bahsul matsail mereka di Makah bahwa gelar kiai hanya bisa disematkan bagi yang memiliki pondok pesantren. Gus Dur pun meresponnya dengan enteng, menurutnya fatwa itu muncul karena banyak orang yang ingin disebut kiai, seperti: pengusaha, politisi, dan konglomerat yang mendirikan pondok pesantren.

Istilah kiai sendiri menurut Gus Dur lahir dari budaya tradisional Indonesia setelah runtuhnya Majapahit. Kiai disematkan pada benda bertuah, lurah, orang kaya dan lainnya. Dalam buku Ngobrol dengan Gus Dur dari Alam Kubur (Argawi Kandito) Gus Dur memberi tafsir, kiai artinya orang yang dianggap lebih dari orang lain yang kini diidentikkan dengan agama.

Zaman dulu kelebihannya bisa harta, orang kaya meskipun agamanya kurang bisa disebut kiai. Tidak hanya orang, benda juga disebut kiai karena karakteristik dan kelebihannya itu. Bahkan menurut Gus Dur, kerbau bule milik Kraton Kasunanan Surakarta saja dinamai Kiai Slamet.

Walhasil, menurut Gus Dur tergantung dari perspektif mana melihatnya. Bisa dari keilmuannya, kebijaksanaannya, keunikannya atau kesaktiannya. Berbeda dengan ulama yang secara umum karena pengetahuan syari'atnya mumpuni, sementara kiai lebih kuat dalam hal hakikat dan kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan dan lainnya.

Di desa-desa, definisi terakhir kiai sangat cocok disematkan kepada mereka yang setiap saat mengajar agama (ngaji) di pondok pesantren, mesjid, mushola, surau atau madrasah. Tidak hanya ngajar ngaji, pada setiap momen seremonial dan ritual keaagamaan ia selalu menjadi daftar undangan utama.

Sekedar contoh kecil, sejak usia akil baligh hingga tamat SMP penulis mendapatkan pengajaran baca tulis Al-Qur'an dari bapak sendiri. Sehari-hari bapak berdagang di pasar, dan sekali-kali bercocok tanam di kebun.

Tidak hanya itu, selain imam di mesjid, beliau senatiasa memenuhi undangan warga untuk memimpin ritual tasyakuran warga, mulai dari acara lamaran, perkawinan, khitanan, hingga mimpin ritual mengurus jenazah sampai hari ketujuh rajaban mimpin bacaan Al-Barzanji dalam Muludan.

Boleh jadi gambaran itu relevan dengan apa yang telah didefinisikan Gus Dur, meskipun cara penyebutannya beragam, ada yang nyebut kiai, ustadz, ajengan, aang (sunda), ra, buya dan lain sebagainya sesuai dengan tradisi lokal daerah masing-masing.

Kedekatan guru ngaji, kiai kampung dengan warganya boleh jadi full 24 jam, tanpa menganal siang atau malam, panas atau hujan dan kondisi lainnya mereka selalu dibutuhkan. Bukan hanya perkara keagamaan, perkara sosial bahkan politik pun tak jarang dijadikan referensi.

Realitas inilah boleh jadi yang membuat kecintaan Gus Dur terhadap guru ngaji, kiai kampung tidak pernah luntur hingga akhir hayatnya. Kiprah mereka di masyarakat tentu mesti diapresiasi, terlebih Gus Dur merasa "berhutang budi" bahwa PKB tidak mungkin bisa berdiri dan memberi warna bagi kehidupan demokrasi Indonesia tanpa legitimasi mereka.

Yang lebih penting, Gus Dur telah mewariskan narasi baru bahwa tidak ada lagi dikotomi apakah mereka produk pesantren atau bukan, belajar di negeri barat atau timur tengah. Siapapun yang memberikan keteladan di masyarakat harus dibela. Persoalan ia menjadi pragmatis atau tidak karena keterlibatannya dalam dunia politik, masyarakat sendiri yang bisa menilai dan akan terkoreksi secara alamiah.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun