Tidak sedikit orang yang meragukan bahkan mencibir beliau kala ditunjuk pak Jokowi menjadi Menpora usai Jokowi -- JK menangi Pilpres 2014. Beres-beres PSSI yang lalu adalah bagian dari pembuktian beliau bahwa S.Ag bisa bertarung dengan "mafioso" sepak bola negeri ini yang memakai baju PSSI dan nyaris tidak pernah beri prestasi untuk negeri ini. Melalui tangan dinginnya, hari ini kesan olah raga adalah milik orang berpunya sudah diputus mata rantainya.
Peran Cak Imin
Duduknya pak Imam Nahrawi dikursi Menpora tidak terlepas dari peran H. Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai top leader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berkontribusi banyak terhadap pemenangan Jokowi -- JK pada Pilpres 2014 lalu.
PKB sebagai partai berbasis kader santri tak patah arang ketika diminta untuk mendelegasikan kadernya pada kabinet pemerintahan Jokowi -- Jk meski bergelar S.Ag. Seperti diketahui bersama bahwa Imam Nahrawi (Menpora) dan Hanif Dhakiri (Menaker) keduanya bergelar S.Ag.
Bagi penulis, Cak Imin adalah orang yang praktekkan secara nyata prinsip kesetaraan sebagai pilar demokrasi. Dimana prinsip ini dipraktekkan sebagai ikhtiar menentang sistem dominasi kekuasaan yang cenderung diskriminatif.
Kesetaraan yang dimaksud menempatkan persamaan sebagai aras bagi proses menciptakan kemaslahatan dalam ruang yang lebih luas, dimana persamaan merupakan hak mendasar bagi manusia disamping ada persamaan yang mutlak.
Yang menarik bagi penulis, Cak Imin telah mematerialkan prinsip persamaan dengan cara menghapus hambatan yang bisa menghapus individu dalam mewujudkan potensinya, dengan menghapus hukum dan hak-hak istimewa lain yang tidak dibenarkan.
Bagi sebagian orang, santri bergelar S.Ag tidak akan mampu menduduki jabatan pemerintahan dan menjadi penentu kebijakan. Tidak bagi Cak Imin, yang terpenting mereka diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya, terbukti Imam Nahrawi dan Hanif Dhakiri mampu berkontribusi banyak terhadap apa yang diamanahkan kepadanya.
Sudah menjadi rahasia umum bila negera ini dikelola oleh orang yang nota bene alumni perguruan tinggi negeri unggulan, sebut saja ada UGM, UI, ITB, IPB, ITS, Unpad, Undip dan lainnya. Alumni perguruan tinggi Islam nyaris tidak pernah diberi kesempatan menduduki jabatan negara sekelas menteri, kecuali di era Jokowi -- JK.
Dalam Islam dikenal bahwa manusia terdiri dari berbagai suku, ras, agama, bangsa dan liannya. Tetapi pada prinsipnya masing-masing memiliki hak yang sama terkait kedudukannya. Satu hal yang mebedaknnya adalah kualitas moralitas mereka dan ia hanya berlaku dihadapan Tuhan. Diskriminasi merupakan pengingkaran terhadap nilai Islam itu sendiri.
Penulis kira, Cak Imin berprinsip kuat bahwa kesetaraan merupakan satu hal yang fundamental dan dibutuhkan bagi pengembangan demokrasi dalam kontek tata kelola pemerintahan. Sudah tidak ada lagi dikotomi antara alumni perguruan tinggi umum bonafide dan perguruan tinggi Islam yang terkesan kelas dua.