Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Soekarno, Cak Imin, dan Gairah Politik Santri

29 Juni 2018   11:20 Diperbarui: 29 Juni 2018   13:54 2422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 20 Juni 2018 lalu H. A. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) hadiri acara haul ke 48 Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia pertama yang digelar dikawasan pemakaman Bung Karno di Blitar Jawa Tengah. Dalam kesempatan itu pula beliau sempatkan ziarah ke makam Bung Karno ditemani Ibu Megawati.

Penulis tidak dalam kapasitas ingin membahas momentum itu dikaitkan dengan Pilkada Jawa Timur, dimana PKB dan PDIP berkoalisi mengusung Syaifulah Yusuf (Gus Iful) dan Puti Guntur Soekarnoputri.

Ada yang menarik, acara haul yang merupakan bagian dari tradisi warga NU ternyata melekat pula pada tradisi keluarga Soekarno yang dikenal sangat Nasionalis. Titik temu Cak Imin yang trah KH. Bisri Sayansuri pendiri NU dan Bu Mega yang trah Soekarno itulah menegaskan mereka adalah keluarga dalam bingkai tradisi NU.

Masyarakat NU meyakini bahwa tradisi haul yang merupakan peringatan kematian seseorang dan diadakan setahun sekali ini memiliki tujuan utama untuk mendoakan ahli kubur agar semua amal ibadah yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT. Lebih dari itu, haul dilakukan untuk mengingat dan meneladani jasa-jasa para tokoh dan segala amal baiknya.

Bila keluarga besar Soekarno masih melaksanakan tradisi NU yang hingga kini masih dijalankan oleh keluarga besar pendiri NU dan jema'ah NU, dalam konteks itu nyaris tidak ada pembeda antara Cak Imin, Bu Mega dan keluarga besar Soekarno.

Dalam peringatan haul dan ziarah ini tentu Cak Imin ingin menyerap energi positif dan spirit perjuangan yang telah diwariskan Sokerano kepada Bu Mega. Dimana pada aspek inilah kemudian ulama NU tidak melarang jama'ahnya untuk melaksanakan ritual peringatan haul dan ziarah.

Pada lain sisi, Bu Mega meyakini bahwa peringatan haul yang diadakan keluarga besar Soekarno dianggap penting sebagai ruang bersilaturrahim keluarga dan pengagum para perjuangan Soekarno, termasuk Cak Imin.

Penulis kira, momentum itu tidak melulu bertendensi politik karena menghadapi Pilkada Jawa Timur, panjatan do'a para tokoh bangsa yang dipimpin oleh Ketua PBNU KH. Said Agil Suradj itu tak lebih dalam rangka memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari Soekarno.

Peringatan haul Soekarno yang masih lekat dengan suasana idul fitri itu boleh jadi sebagai ajang silaturahim para pewaris negeri ini, baik Cak Imin dari pendiri NU dan Bu Mega dari sisi Soekarno. Sekaligus penegas bahwa kehidupan tidak berhenti karena kematian, kematianlah sejatinya pintu masuk ke kehidupan lebih nyata.

Pada sudut lain, dibanjirinya makam Soekarno dan makam kiai pendiri dan tokoh NU oleh peziarah adalah bukti bahwa kiprah almarhum semasa hidupnya sungguh membawa suri tauladan yang baik dan menuntut diteruskan oleh para generasi penerusnya.

Bergeser pada kontek ziarah, layaknya Gus Dur, Cak Imin yang gemar ziarah ke makam leluhur adalah wujud keyakinan beliau bahwa para leluhur yang sudah meninggal masih memiliki kepedulian terhadap dunia.

Santri NU

Soekarno memiliki ikatan batin yang kuat dengan kiai NU di Jawa Barat, menurut Ahmad Baso pakar sejarah NU pada tahun 1944 sebelum menjadi presiden RI yang pertama paska Proklamasi Kemerdekaan Indonesia beliau sempat dikader oleh kiai Sukanegara Cianjur.

Pada masa itu, konon Soekarno sering datang ke Sukanagaran, nama sebuah desa di selatan Cianjur untuk menemui seorang kiai yang usianya sudah lanjut. Kiai itu seorang pengelana nusantara.

Pertemuan Soekarno dengan kiai Sukanagara adalah buah perantaraan Raden Adipati Arya Wiranatakusumah mantan Bupati Cianjur dan Bupati Bandung yang kemudian diangkat Soekarno menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet RI Pertama.

Nama lengkap kiai Sukanagara adalah KH. Ahmad Basyari yang asli Madura dan mendirikan pesantren Sukanagara di selatan kota Cianjur. Beliau adalah santri KH. Hasyim As'yari kakek Gus Dur pendiri Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU).

Kiai Sukanagara merupakan guru politik Raden Adipati Arya Wiranatakusumah, karenanya ia menjabat Bupati beberapa periode di Cianjur dan Bandung yang kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri.

Soekarno mengenal NU dan politik NU dari kiai Sukanagara, beliau menjadi peminpin bangsa ini dari hasil tirakat dan mujahadah yang diajarkan kiai Sukanagara. Wajar bila tradisi haul dan ziarah kubur yang diteruskan oleh keluarga besar Soekarno seperti yang disitir diawal masih senantiasa terawat.

Berbekal ilmu dari kiai Sukanagara, Soekarno belakangan dikenal menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting ditengah gempuran 'mental' kala menjabat Presiden RI pertama. Karakter kuat Soekarno lahir atas gemblengan spiritual kiai Sukanagara.

Karakter itu ditenggarai membentuk mental yang menjiwai dan mendalami arti kebangsaan dan keindonesiaan yang kemudian beliau ejawantahkan dalam merumuskan falsafah negara, yakni Pancasila.

Walhasil, buah pengalaman Soekarno berguru kepada kiai NU membuktikan bahwa politik keangsaan kiai NU sungguh menjadi kiblat bagi pemimpin negeri ini. Lebih dari itu, pesantren lebih "keren" dalam merekonstruksi ilmu politik sebagai alat perekat, pertahanan dan mobilisasi segenap elemen bangsa dalam menghadapi setiap tantangan.

Bagi Soekarno, "Cinta pada tanah air adalah perasaan terindah yang bisa memuliakan nyawa, ia tidaklah berlainan dengan keyakinan Islam". Ungkapan ini menggambarkan kedalaman batin Soekarno atas ajaran Islam yang jauh dari kesan simbolistik.

Dalam pidatonya yang berapi-api pada forum musyawarah BPUPKI dengan agenda pengesahan Pancasila, Soekarno menegaskan bahwa beliau berharap Islam tidak semata-mata bahasa bibir, lebih dari itu ia hadir sebagai jaran yang menghormati perbedaan satu sama lain.

Wawasan berpikir yang tidak kaku itu sebagai warisan ajaran para gurunya yang secara keilmuan bernasab pada kiai NU. Pemahaman Islamnya luwes, tidak tekstual dan tidak memaksakan kehendaknya sendiri sebagai agama mayoritas di Indonesia.

'Ala kulli hal, Soekarno merumuskan Pancasila dengan menggunakan pendekatan lima prinsip-prinsip Maqosidu Syar'i, antara lain: memelihara agama, memelihara akal, memelihara nyawa, memelihara harta dan memelihara keturunan. Lima prinsip inilah sari pati ajaran Islam.

Politik Santri

Tagline "Politik Rahmatan Lil'alamiin" yang Cak Imin cetuskan memberi warna dan karakter tersendiri bagi politik kebangsaan yang dilarapkan PKB hingga saat ini. Tagline itu boleh jadi sebagai kelanjutan dari jati diri Partai NU yang dahulu menjadi bagian dari sejarah bangsa ini.

Tagline ini sebagai kendali atas kiprah para kader PKB dalam mencari wasilah supaya masalah menjadi maslahat bagi masyarakat dengan kebangsaan sebagai arasnya. Perkara ini menjawab keraguan kader NU atas relasi PKB dengan NU itu sendiri, PKB adalah pelanjut politik NU.

Warisan perilaku politik kebangsaan yang dipraktekkan oleh ulama pendiri NU sejatinya menjadi spirit perjuangan generasi penerus NU dalam merawat dan melestarikannya. Sehingga nampak jelas karakter politiknya.

Pada konteks itu, Cak Imin meyakini bahwa berpartai di PKB sejatinya menjadi jalan dalam menebar manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat, wabilkhusus konstituen PKB yang mayoritas warga NU.

Hal ini relevan dengan ungkapan Soekarno: "Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup yang lebih layak dan sempurna, kita bergerak tidak karena ideal saja, tapi karena ingin perbaikan nasib di segala bidang".

Bagi Soekarno maupun Cak Imin, karena sistem negara kita mengisyaratkan adanya partai politik, maka mewujudkan perubahan nasib diberbagai bidang jalannya melalui partai. Karenannya, baik partai yang didirikan Soekarno maupun PKB yang sedang digawangi Cak Imin sejatinya emban niat suci itu.

Wawasan politik Cak Imin memiliki karakter yang melekat dan kuat dalam hal amalkan politik keagamaan, lebih dari itu politik kebangsaan. Gagasan Soedurisme Cak Imin penulis kira sebagai penegasan bahwa beliau senantiasa mengambil suri tauladan dari tokoh-tokoh pendahulunya, Soekarno dan Gus Dur.

Tidak berlebihan kiranya bila penulis menganggap bahwa kealifan politik Soekarno dan Gus Dur menjadi kekayaan "rohani" politik Cak Imin sekarang. Wabilkhusus ditengah-tengah hiruk pikuk politik nasional kita menghadapi Pemilu 2019.

Meski sebagian orang menganggap manuver Cak Imin hari ini sebagai bagian dari ambisi politiknya, bagi penulis justeru bukan. Sebagai pemimpin politik tentu Cak Imin menyimpan obsesi mewujudkan dharma baktinya bagi masyarakat yang kelak patut dikenang.

Iklim politik Indonesia hingga kini masih "nyiyir" terhadap pemimpin politik seperti Soekarno atau Gus Dur yang berikhtiar keras mewujudkan dharmanya. Ikhtiar yang dilakukan Cak Imin hari ini pun tak sedikit mendapatkan cibiran yang berujung pada kebencian.

Baik Soekarno, Gus Dur maupun Cak Imin yang telah diwarisi ilmu "pasrah" dan "kaweruh" oleh kiai NU sehingga membentuk mental "baja" sungguh menginspirasi generasi muda penerus perjuangan bangsa ini ditengah godaan ideologi politik asing yang sebenarnya ingin mencerabut akar nilai nasionalisme kita.

Seperti halnya Soekarno dan Gus Dur, Cak Imin sejatinya telah menjadi ikan besar dalam kolam yang besar. Ia bebas berenang sesuai arah yang dikehendaki tanpa takut dihadang ikan yang lain. Inilah esensi gairah politik santri.

**

Penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun