Santri NU
Soekarno memiliki ikatan batin yang kuat dengan kiai NU di Jawa Barat, menurut Ahmad Baso pakar sejarah NU pada tahun 1944 sebelum menjadi presiden RI yang pertama paska Proklamasi Kemerdekaan Indonesia beliau sempat dikader oleh kiai Sukanegara Cianjur.
Pada masa itu, konon Soekarno sering datang ke Sukanagaran, nama sebuah desa di selatan Cianjur untuk menemui seorang kiai yang usianya sudah lanjut. Kiai itu seorang pengelana nusantara.
Pertemuan Soekarno dengan kiai Sukanagara adalah buah perantaraan Raden Adipati Arya Wiranatakusumah mantan Bupati Cianjur dan Bupati Bandung yang kemudian diangkat Soekarno menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet RI Pertama.
Nama lengkap kiai Sukanagara adalah KH. Ahmad Basyari yang asli Madura dan mendirikan pesantren Sukanagara di selatan kota Cianjur. Beliau adalah santri KH. Hasyim As'yari kakek Gus Dur pendiri Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Kiai Sukanagara merupakan guru politik Raden Adipati Arya Wiranatakusumah, karenanya ia menjabat Bupati beberapa periode di Cianjur dan Bandung yang kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri.
Soekarno mengenal NU dan politik NU dari kiai Sukanagara, beliau menjadi peminpin bangsa ini dari hasil tirakat dan mujahadah yang diajarkan kiai Sukanagara. Wajar bila tradisi haul dan ziarah kubur yang diteruskan oleh keluarga besar Soekarno seperti yang disitir diawal masih senantiasa terawat.
Berbekal ilmu dari kiai Sukanagara, Soekarno belakangan dikenal menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting ditengah gempuran 'mental' kala menjabat Presiden RI pertama. Karakter kuat Soekarno lahir atas gemblengan spiritual kiai Sukanagara.
Karakter itu ditenggarai membentuk mental yang menjiwai dan mendalami arti kebangsaan dan keindonesiaan yang kemudian beliau ejawantahkan dalam merumuskan falsafah negara, yakni Pancasila.
Walhasil, buah pengalaman Soekarno berguru kepada kiai NU membuktikan bahwa politik keangsaan kiai NU sungguh menjadi kiblat bagi pemimpin negeri ini. Lebih dari itu, pesantren lebih "keren" dalam merekonstruksi ilmu politik sebagai alat perekat, pertahanan dan mobilisasi segenap elemen bangsa dalam menghadapi setiap tantangan.
Bagi Soekarno, "Cinta pada tanah air adalah perasaan terindah yang bisa memuliakan nyawa, ia tidaklah berlainan dengan keyakinan Islam". Ungkapan ini menggambarkan kedalaman batin Soekarno atas ajaran Islam yang jauh dari kesan simbolistik.