Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Money

Cita Bung Hatta Energi Juang Cak Imin

25 April 2018   12:50 Diperbarui: 25 April 2018   13:01 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada awal tahun 2013 hingga awal tahun 2014 penulis bersama sahabat-sahabat yang tergabung dalam Forum Penyelamat Ekonomi Rakyat (FPER) Kab. Tasikmalaya melakukan advokasi terhadap kebijakan daerah yang salah kaprah terkait tata kelola pasar tradisional.

FPER yang didalamnya terdiri dari KNPI, GP Ansor, IPNU, ISNU, PMII, HIPMI, Rijalul Ansor, BEM STIE Cipasung merupakan wadah yang kami bentuk sebagai ruang diskusi dan ekpresi atas maraknya toko modern (Alfamart, Indomart, Yomart dan lainnya) tak berizin kala itu.

Temuan kami kala itu, 46 minimarket yang beroperasi 24 jam setiap hari tidak memiliki Izin Usaha Toko Modern (IUTM) artinya menyalahi Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Ironisnya, diantara toko modern yang telah beroperasi sejak tahun 2007, semenjak itu pula kegiatan usaha mereka tidak dipayungi oleh regulasi hukum, dalam hal ini Perda. Jika boleh disebut, kegiatan usaha mereka "bodong".

Keperihatinan kami kala itu muncul karena pasar traidisional dan usaha rakyat kecil "terbunuh" karena tak bisa bersaing ketika dihadap-hadapkan dengan toko modern yang ditopang oleh gelontoran modal yang luar bisa besar.

Spiritnya bahwa pasar tradisional merupakan akar budaya kegiatan ekonomi bangsa Indonesia, wabilkhusus masyarakat Sunda. Kegiatan sosial ekonomi di pasar tradisional mampu membangun interaksi sosial yang akrab antara pedagang dan pembeli, pedagang dan pedagang, serta pedagang dan pemasok barang.

Poin dari setiap aktifitas yang kami lakukan adalah mendorong Pemerintah Daerah supaya memiliki keberpihakan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat kecil penguatan tata kelola pasar-pasar desa yang biasanya buka satu minggu satu kali (hari rabu) atau dua kali (hari selasa dan kamis).

Selain itu, kami mendorong supaya terjadi harmonisasi antara kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian dan sektor usaha-usaha tertentu dengan prinsip-prinsip persaingan usaha, dengan catatan mengedepankan keberpihakan pada ekonomi rakyat kecil.

'Ala kulli hal, pengalaman itu sengaja penulis ulas dalam kerangka merawat kesadaran bahwa ikhtiar yang dilakukan melalui jalur ekstra parlementer ternyata tidak cukup meskipun melibatkan banyak orang. Kuncinya kita harus memiliki "orang dalam" di parlemen dan eksekutif yang tentunya memiliki kesadaran yang sama.

Penulis sungguh tergugah dengan pengakuan H. A. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dalam sebuah pertemuan dengan ratusan kader PKB Kediri, Jawa Timur Senin 23 April 2018 lalu. Ikhtiarnya selama ini diantaranya ingin meneruskan cita-cita Bung Hatta, yakni memajukan Ekonomi Kerakyatan.

Konsep ekonomi kerakyatan adalah sebuah konsep politik-perekonomian yang memusatkan pembangunannya pada rakyat. Menurut Cak Imin, konsep ini menempatkan koperasi sebagai medium pencapaian hasil, tanpa mengesampingkan peranan pasar dan negara.

Cita Bung Hatta

Dalam tulisan berjudul Ekonomi Rakyat yang dimuat pertama kali dalam Daulat Ra'jat, 30 November 1933, Bung Hatta ungkapkan secara gamblang  terkait situasi ekonomi rakyat yang bertambah sempit, penghasilan semakin menurun, pengangguran bertambah banyak dan lainnya.

Bung Hatta membagi tiga kelas ekonomi yang ada di tanah air ini kedalam tiga golongan, yakni: golongan yang menghasilkan (produksi), golongan yang mempergunakan penghasilan tersebut (konsumsi), dan golongan yang memindahkan barang penghasilan itu dari daerah produksi ke tempat konsumsi, yang kemudian disebut distribusi.

Atasnya, Bung Hatta mengklasifikasi penghidupan dan usaha ekonomi terbagi atas tiga cabang, yakni: produksi, konsumsi dan distribusi. Pembagian tiga cabang ini berlaku bagi masyarakat kapitalisme dan masyarakat sosialisme.

Kelas manusia memang hilang dalam masyarakat sosialisme, tetapi fungsi atau pekerjaan menghasilkan dan distribusi masih tetap tinggal. Hanya saja segala usaha dipimpin oleh suatu badan pengurus umum dan ditujukan untuk kepentingan bersama.

Aktifitas berdagang tidak hilang, tetapi pedagang yang hanya mementingkan keuntungan sendiri menjadi terdistorsi karena pekerjaan itu dilakukan oleh badan-badan sebagai representasi masyarakat.

Sebaliknya, dalam masyarakat kapitalisme ketiga golongan usaha tadi terpisah. Persoalannya ada praktek-praktek monopoli disana, karena pihak produsen bisa saja menyingkirkan yang lain dengan cara mengadakan penggabungan (merger) badan usahanya.

Dalam konteks kapitalisme, produsen, pedagang, dan konsumen masing-masing terpisah. Kekuatannya diukur dari ketersedian modal masing-masing sehingga yang kuat akan semakin kuat dan yang lemah akan musnah. Pembagian yang adil mustahil terjadi dalam kapitalisme.

Menurut Bung Hatta, di Indonesia mayoritas pemodal besar adalah bangsa kulit putih. Dengan kedudukannya yang kuat memberi peluang berkelindan dengan pemerintah untuk melindungi keamanannya. Selain itu, ia bisa leluasa bersandar pada bank-bank yang mayoritas bersifat kulturbank.

Karenanya, kunci perekonomian ada dalam genggamannya sehingga ia dapat menguasai ekonomi rakyat yang sama sekali tidak tersusun. Suka tidak suka, fakta inilah yang menjadi penyebab lemahnya ekonomi rakyat.

Petani sebagai bagian dari produsen kecil kita nyaris selalu hanya menjadi tukang tanam, sementara hasilnya dinikmati oleh produsen besar tadi.  Ia nyaris tidak memiliki akses terhadap pasar, sekalipun ada itu didapat dari para broker (perantara) sebagai kepanjangan tangan pemodal. Wajar bila harga dikendalikan oleh pemodal.

Menurut Hatta, keadaan itu hanya bisa diperbaiki berangsur-angsur dengan memberi susunan kepada produksi dan konsumsi rakyat melalui koperasi produksi dan konsumsi yang dibantu dengan koperasi kredit.

Ikhtiar itu bisa dilakukan antara lain dengan cara para produsen harus menggabungkan diri untuk membangun koperasi produksi.  Lalu, kaum konsumen di desa-desa bersatu membangun kekuatan dalam wadah koperasi konsumsi. Kemudian, koperasi kredit menjadi supporting system-nya dengan diberikan kewenangan untuk mengatur perputaran uang diantara badan-badan koperasi tadi.  

Tekad Cak Imin

Seperti diulas sedikit dibagian awal tulisan ini, Cak Imin bertekad meneruskan cita-cita Bung Hatta yang belum terwujud dan dirasakan oleh rakyat Indoensia, yakni ekonomi kerakyatan yang dibalut koperasi. Sebagai orang yang lahir dari trah pesantren dan pendiri NU, ini menjadi energi juangnya yang dahsyat.

Dalam pidatonya di hadapan Dewan Pertimbangan Agung di jakarta pada tahun 1970, Moh. Hatta menjelaskan bahwa pasal 33 UUD 1945 menempatkan koperasi sebagai sokoguru ekonomi Indonesia dengan BUMN dan usaha swasta sebagai penopangnya.

Cita-cita inilah yang ditangkap Cak Imin yang hari ini menjabat sebagai salah satu pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. Beliau haqul yakin bahwa koperasi merupakan ruh ekonomi rakyat dimana kegiatannya diarahkan mengolah yang kecil-kecil dan melaksanakan yang besar-besar. Relevan dengan NU yang memiliki ribuan pesantren.

Pada prosesnya, koperasi harus dimulai membangun dari bawah, melaksanakan yang kecil terlebih dahulu yang erat kaitannya dengan hajat hidup rakyat sehari-hari, lalu berangsur meningkat ke level atas seperti gerakan Nahdlatut Tujjar sebagai pilar berdirinya NU.

Sebagai "orang dalam" Cak Imin faham betul bahwa BUMN membangun dari atas, menjalankan produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kemudian usaha swasta melaksanakan hal yang tidak dikerjakan oleh koperasi dan negara.

Gagasan Bung Hatta yang centang perenang menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental menjadi spirit Cak Imin untuk menguatkan koperasi dengan paham kerakyatan, semangat kolektif dan berakar pada kultur masayarakat, terlebih warga pesantren.

Koperasi sebagai bentuk usaha bersama dengan semangat menolak pertentangan persaingan liberal dengan basis nilai kekeluargaan dan kolektifitas dianggap bisa mengimbangi monopoli usaha kaum pemodal besar yang mencengkeram kegiatan usaha rakyat kecil, sehingga ia tak mampu lagi keluar dari keterpurukan.

Bukan tanpa alasan tentunya, karena koperasi sesungguhnya mendidik dan memperkuat demokrasi sebagai cita-cita luhur bangsa. Dalam koperasi memupuk semangat saling menghargai pendapat masing-masing dengan rasa tanggungjawab sosial.

Sistem demokrasi yang dibumbui politik liberalistik yang dipenuhi hiruk pikuk hanya akan melahirkan orang kaya dengan modal besar. Sementara diseberangnya masyarakat miskin tak beranjak dari kemiskinannya, bahkan tambah terpuruk.

Koperasi sebagai ruh ekonomi rakyat menuntut kemampuannya untuk membangun sistem dalam perspektif yang lebih integral. Tidah hanya dilihat dalam dimensi mikro sebagai bangun perusahaan saja. Lebih dari itu sebagai sistem nilai dengan dimensi yang lebih luas baik makro-ideologi, mikro-organisasi dalam mewujudkan perubahan sosial.

Karenanya koperasi harus tunduk pada prasyarat utamanya yakni tunduk patuh kepada nilai-nilai yang dioperasionalisasikan dalam prinsip-prinsip dasarnya. Koperasi harus mampu menjadikan jatidirinya sebagai keunggulan ditengah persaingan dengan para kapitalis.

Tidak berlebihan kiranya bila Cak Imin bertekad mampu wujudkan cita-cita Bung Hatta dikemudian hari, karena bersamanya ada 11 juta konstituen PKB, puluhan ribu pesantren, ratusan ribu kiai dan jutaan santri.

Penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun