Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hasil Temuan BPK dan Kebijakan Fiskal Kita

24 April 2018   12:41 Diperbarui: 24 April 2018   12:52 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tarnow.grupaazoty.com

Tanggal 3 April 2018 lalu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) II Tahun 2017. Bersamaan dengan itu, laporannya disampaikan pula oleh ketua BPK melalui Sidang Paripurna DPR RI.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Ketua BPK mengungkapkan ada 4.430 temuan yang memuat 5.852 permasalahan. Temuan itu meliputi: 1.080 kelemahan SPI, 1.950 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan senilai 10,56 Triliun Rupiah, dan 2.820 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai 2,67 Triliun Rupiah.

IHPS II tahun 2017 memuat hasil pemeriksaan kinerja tematik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BLUD dan badan lainnya. Pemeriksaan tematik adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh beberapa satuan kerja pemeriksaan secara serentak terkait tema yang terdapat pada kebijakan dan strategi pemeriksaan BPK atas program pemerintah dalam suatu bidang yang diselenggarakan oleh berbgai entitas pemeriksaan.

Pemeriksaan kinerja tematik yang dilakukan pada semester II tahun 2017 ini adalah pemeriksaan atas: pemenuhan kebutuhan guru dan tenaga kependidikan yang profesional, pengelolaan obat dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penyelenggaraan administrasi kependudukan dan pelayanan perizinan terpadu satu pintu yang mendukung kemudahan bisnis dan investasi.

Pertama, terkait pemenuhan kebutuhan guru dan tenaga kependidikan yang profesional. BPK menyimpulkan bahwa pemerintah pusat dan Pemda secara umum belum sepenuhnya efektif dalam pemenuhan kebutuhan guru dan tenaga kependidikan untuk aspek kualifikasi, sertifikasi, kompetensi, kesejahteraan, database, dan distribusi karena masih ada problem profesionalisme dan pemenuhan guru dan tenaga kependidikan.

Kedua, terkait pengelolaan obat dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemeriksaan dilakukan terhadap 46 objek pemeriksaan, diantaranya: Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Penyelenggra Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan 42 Pemda.

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahawa Kementerian Kesehatan, RSUPN-CM, RSJPD Harapan Kita, Badan Pom, Pemda dan BPJS kesehatan pada umumnya belum efektif mengelola obat dalam rangka penyelenggaraan JKN, terutama terkait dengan perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta pengawasan produksi dan distribusi obat.

Ketiga, terkait penyelenggaraan administrasi kependudukan periode tahun anggaran 2015 -- semester I 2017, BPK masih menemukan permasalahan yang signifikan dalam pendaftaran dan pencatatan sipil, pengelolaan data kependudukan, serta pemanfaatan data kependudukan pada pemerintah usat dan daerah sehingga berpengaruh rerhadap efektifitas penyelenggaraan administrasi kependudukan.

Keempat, terkait efektifitas pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang mendukng kemudahan bisnis dan investasi tahun anggaran 2016-triwulan III 2017 dilaksanakan pada 14 Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan PTSP untuk menghasilkan perizinan yang mudah, murah, cepat, dan tepat dalam rangka mendukung kemudahan bisnis dan investasi 14 DPMPTSP belum efektif.

Desentralisasi Fiskal

Selanjutnya, hasil pemeriksaan kinerja pada pemerintah pusat yang signifikan antara pemeriksaan atas kontribusi energi baru terbarukan dalam rasio elektrifikasi dan bauran energi nasional, pengelolaan operasional jalan tol, penanganan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara, perizinan kapal perikanan dan alat tangkap ikan, dan proses kepabeanan atas kegiatan impor barang.

Terkait dengan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDDT) pada pemerintah pusat, hasil pemeriksaan yang signifikan antara lain pemerksaan atas pengelolaan belanja dan pengelolaan tata niaga impor pangan.

Penulis kira semua yang dipaparkan diawal adalah bagian dari ikhtiar pemerinta dalam mewujudkan kondisi fiskal yang sehat hingga level paling bawah. Suka tidak suka, implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia hingga kini belum sepenuhnya berpengaruh positif.

Permasalah kemiskinan, kesenjangan antar daerah, dan individu yang memburuk, rendahnya kualitas pelayanan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur masih mendominasi permasalahan daerah. Sehingga diperlukan kebijakan yang men-support terwujudnya belanja daerah yang berkualitas tentunya.

Semua ini harus diarahkan pada konsolidasi desentralisasi fiskal di Indonesia. Hararapanya adalah pemerintah dapat mendorong terwujudnya belanja daerah yang berkualitas dan akuntabel.

Isu belanja berkualitas sangat relevan menjadi substansi yang diatur dalam revisi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pemerintah sebelumnya telah menetapkan berbagai regulasi pengelolaan keuangan daerah. Tetapi masih saja ditemukan persolan yang cenderung tumpang tindih dan tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Walhasil, pelaksanaan anggaran di derah justeru menghambat terwujudnya belanja daerah yang berkualitas sebagaimana menjadi harapan. Inilah potret buram kebijakan fiskl kita yang dari waktu ke waktu mesti dievaluasi dan diperbaiki.

Sudah menjadi rahasia umum bila belanja pemerintah merupakan syarat perlu dan regulasi yang sinkron menjadi syarat cukup. Keduanya merupakan prasyarat dasar menuju keberhasilan kebijakan desentralisasi fiskal.

Belanja yang berkualitas dalam konteks keuangan publik merupakan kata kunci yang masih jarang ditemukan praksisnya. Padahal, istilah ini sering sekali digunaka dalam wacana publik, terutama dikaitkan dengan rendahnya kinerja pemerintah daerah.

Upaya mendorong perbaikan kualitas belanja pemerintah daerah penulis kira sejalan dengan tantangan daerah menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEA (MEA) dengan memanfaatkan ebaik-baiknya kewenangan yang dimiliki untu mempercepat terwujudkan kesejahteraan masyarakat melaui partisipasi aktif pemangku daerah.

Problem rendahnya kualitas belanja pemerintah daerah saat ini merupakan masalah serius yang harus disikapi karena berdampak negatif bagi laju pertumbuhan ekonomi daerah, pelambatan penurunan angka kemiskinan, ketinpangan wilayah dan individu sebagai akibat tidak sesuainya belanja daerah dengan prioritas belanjanya.

Reformasi Kebijakan

Reformasi kebijakan desentralisasi fiskal adalah keniscayaan dengan mengarahkan fokusnya pada peningkatan kualitas belanja pemerintah daerah. Meskipun telah dilakukan berbagai penyempurnaan kebijakan, tidak ada salahnya terus di-upgrade.

Kedepan, persoalan yang seringkali muncul seperti: peraturan yang masih bersinggungan, perbedaan pendapat yang diiringi dengan perebutan kewenangan antar level pemerintah sudah seyogianya disudahi.

Kebijakan belanja berkualitas merupakan indikator inti dari upaya mendorong pengelolaan keuangan daerah agar belanja dapat dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan daerah secara efektif dan efisien, tepat waktu, transparan dan akuntabel.

Pembahasan APBD saat ini masih berpotensi menyebabkan terjadinya distorsi prioritas belanja daerah. Tidak tepatnya alokasi belanja, penyusunan dan implementasi APBD tidak tepat waktu merupakan penyebab tidak efektif dan efisiennya belanja daerah.

Harmonisasi antara regulasi pengelolaan keuangan daerah dengan regulasi sektoral adalah kata kunci. Sekedar contoh, disharmoni antar regulasi yangterjadi pada sekor pendidikan telah menyebabkan pemerintah daerah gagal mengatasi masalah prioritas pendidikan dasar, seperti penyediaan kekurangan guru dan pemenuhan infrastrukturnya.

Pemberian Bansos dan Hibah yang bersumber dari APBD suka tidak suka masih membuka ruang penyalahgunaan anggaran. Perbaikan mekanisme perencanaan dan akuntabilitasnya adalah niscaya.

Dishamonisasi regulasi hari ini membuktikan citra buruk lemahnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat. Walhasil, perbaikannya bisa dimulai melalui penyederhanaan dan pengintegrasian sistem pembinaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan daerah yang masih berjalan terpisah antara masing-masing kementerian dan lembaga.

Sekali lagi, konsep kebijakan pengelolaan keuangan daerah perlu diarahkan untuk mewujudkan belanja daerah yang berkualitas. Hal ini harus diimplementasikan melalui peningkatan kualitas rencana kerja dan penyederhanaan mekanisme pembahasan APBD.

Penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah terutama untuk urusan wajib pelayanan dasar dapat memangkas birokrasi. Implementasi model ini harus diatur regulasinya setiap tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun