Papa bilang, Dannis adalah anak dari pesaing bisnis papa, mereka bermusuhan karena iri hati ayah Dannis kepada papa. Bukan hanya sampai di situ saja, ternyata ada maksud tersendiri dari Dannis selama ini pada keluargaku. Tapi, aku sama sekali tidak bisa mempercayainya karena aku menganggap itu masalah papa di masa lalu.
Seketika aku meninggalkan papa seorang diri dan berlari menuju taman. Dannis yang melihatku berlari sambil menangis, ia mengejarku ke taman. Saat itu, aku mulai mengklarifikasi kebenaran ucapan papa dari Dannis sendiri. Ternyata memang benar, Dannis adalah anak pesaing bisnis papa dan ayahnya merupakan musuh bubuyutan dengan papa.Â
Tapi, Dannis berusaha meyakinkan diriku. Bahwasannya, ia benar-benar mencintai aku apa adanya tanpa maksud yang papa ucapkan sebelumnya. Aku yang begitu menyayangi Dannis, memeluknya erat dan berharap semua akan baik-baik saja karena aku sangat mempercayai Dannis.
Tiga hari kemudian, Dannis datang kembali untuk menjenguk papa sambil membawa sekeranjang buah yang dibungkus rapi. Aku menemani Dannis untuk menjenguk papa yang keadaannya mulai stabil. Dannis memberikan salam pada papa tapi papa tidak menggubrisnya, ia malah mengalihkan pandangannya.Â
Aku yang merasa tidak enak hati berusaha untuk mencairkan. Aku berusaha berkata yang baik kepada papa. Tapi, lagi-lagi papa tidak menggubrisku seolah enggan mendengar penjelasanku dan tetap teguh pada pendiriannya.
Setelah satu minggu papa dirawat, akhirnya papa diizinkan utuk pulang ke rumah. Dannis sudah menunggu di parkiran untuk mengantarkan kami pulang. Tapi, papa tidak mau dan menunjukkan ketidaksukaannya pada Dannis. Akhirnya papa pulang dengan mama menggunakan taksi dan aku bersama Dannis.
Di mobil, Dannis menanyakan perihal perubahan sikap papa padanya. Aku bingung untuk menjelaskannya, tapi syukurlah Dannis mengerti.
Papa semakin menjadi, ia kini melarangku untuk berhubungan dengan Dannis dan menyuruhku untuk memutuskan hubungan kami. Sontak saja aku terkejut dan marah pada papa. Sekali dua kali aku masih bisa menahan emosiku. Tapi, kali ini darahku memuncak dan aku tidak terima dengan semua perlakuan papa.Â
Saat itu, aku mengemas seluruh barang-barangku dan menarik koper dari lemari untuk meninggalkan rumah. Mama menangis menahanku untuk tidak pergi, tapi papa tidak bergeming. Ia tetap duduk di atas kursi roda dan menatapku ke arah luar. Aku bulatkan tekad untuk pergi dengan maksud agar papa sadar dan kembali menerima Dannis.
Aku tak tahu harus kemana, akhirnya aku putuskan untuk menginap di rumah Dannis. Sesampainya di rumah Dannis, keadaan tampak sepi karena aku ketuk pintu beberapa kali tidak ada yang menyahut dari dalam.Â
Akhirnya, aku sendiri melangkahkan kaki masuk. Kakiku terhenti di depan kamar Dannis yang terdengar gaduh, aku yang takut terjadi sesuatu, memberanikan diri untuk membuka pintunya.Â