Makanan favoritku ketika di Monas adalah kerak telor. Kerak telor sendiri merupakan makanan yang terkenal karena rasanya yang khas dan sarat akan nilai budaya yang menambah eksotismenya bagi para pencinta kuliner.Â
Walaupun, Jakarta dikenal dengan kemegahannya, tapi semua ini dapat kita nikmati tanpa merogoh kocek dalam-dalam. Sisi lain dari Jakarta di mata dunia adalah kekayaan budayanya.Â
Budaya yang unik dan melegenda masih dapat kita jumpai dengan mengunjungi cagar budaya. Masih ada segelintir orang yang meletarikan budayanya, merekalah para seniman hebat. Mereka patut dijunjung sebagai pahlawan budaya karena tanpa mereka Jakarta akan lupa dengan jati dirinya sendiri.
Hampir dua tahun lamanya aku mengembara untuk menemukan jalan keluar yang tak pasti. Sampai suatu ketika, hatiku tersentuh ketika mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an yang didengungkan olehnya. Aku tidak tahu roh apa yang telah merasuki tubuhku ketika itu.Â
Hingga aku memberanikan diri dan berkata padanya. "Aku ingin mengenal Islam." Ia yang mendengar ucapanku, menatapku erat tanpa berbicara sepatah kata. Hingga kami tak menyadari air mata yang telah membasahi pipi sedari tadi. Niatku tulus dari hatiku yang terdalam, tanpa paksaan ataupun yang lainnya. Aku meyakinkannya untuk benar-benar mengenal dan mempelajari Islam.
Sejak saat itu, aku mulai mempelajari Islam dari berbagai sumber yang kujadikan sebagai guru, termasuk dirinya. Aku melakukan semua ini tanpa sepengetahuan keluargaku karena aku tahu apa yang akan terjadi ketika mereka mengetahui semua ini. Sampai suatu hari, aku mengutarakan niatku kepada mereka.Â
Reaksi yang kuterima adalah cacian, makian, bahkan mereka menghujatku sebagai pengkhianat kristus. Mereka menagih janji baptisku selama ini. Sontak aku tak kuasa menahan tangis, begitu juga keluargaku karena mereka begitu terkejut dengan keputusanku.
Aku mencoba untuk melupakan keinginanku itu, tapi semakin lama keinginan itu semakin mengakar dalam hati. Terlebih, dukungan dari keluarganya yang bersedia membimbingku dan menerimaku apa adanya. Hatiku tergerak dan kukuatkan tekad untuk melangkah perlahan.Â
Selama perjalanan aku alami pergulatan hebat dalam hidupku. Terkadang tersendat layaknya kemacetan di kota. Akan tetapi, aku bertahan meneruskan perjalananku. Aku mencintai mereka, tapi pilihan yang kuhadapi terlalu berat. Ia yang mengetahu kegundahanku, memberikan semangat untukku tanpa memaksaku untuk mengikutinya.
Sampai pada akhirnya, aku tak menyangka keluargaku terketuk pintu hatinya. Mereka menerima keputusanku, bahkan di antara mereka ada yang mengikuti langkahku. Keluargaku menghantarkanku ke gerbang kehidupanku yang baru menjadi seorang mualaf.Â
Saat itulah aku resmi menjadi seorang muslim dan menanggalkan kalung salib di leherku. Tak lupa kehadirannya yang menjadi saksiku ketika mengikrarkan dua kalimat syahadat. Walaupun, aku dan keluargaku berbeda, tapi rasaku takkan pernah memudar. Aku akan mencontoh kerukunan antara Katedral dan Istiqlal yang mencintai setiap perbedaan yang ada.