Lain halnya jika berbicara dengan hati, terlebih persoalan cinta, indah kedengarannya. Namun, apakah mungkin keindahan itu dapat bertahan?Â
Ketika seorang laki-laki berkalung salib dan seorang muslimah menjatuhkan hati satu sama lain. Mungkinkah keduanya bersatu? Apakah Tuhan mengizinkan mereka melabuhkan tali kasih keduanya dalam ikatan suci sehidup semati?
Kini biarkan aku menjawab melalui kisah cinta terlarang itu karena inilah kisahku, cinta seorang laki-laki berkalung salib. Kisah yang bermula ketika aku seorang katolik dipertemukan dengan seorang muslimah dalam sebuah pertemuan yang telah kupaparkan sebelumnya.Â
Sejak saat itu aku dan ia sering berkomunikasi karena jalinan pertemanan. Sampai akhirnya rasa itu benar-benar hadir dan mulai mengusik. Mustahil bagiku untuk meletakkan hati padanya, di antara kami terlalu banyak jurang pemisah yang dibatasi oleh pagar Tuhan.
Semesta rupanya tidak berkata demikian, sepertinya Tuhan memiliki rencana yang lain. Hingga membiarkan rasa di antara kami tumbuh dan berkembang menjadi cinta.Â
Kami tahu itu dapat memicu pertikaian di antara kami, terlebih keluarga kami yang sama-sama memegang teguh keyakinan mereka masing-masing. Di sini aku tak mau menyalahkan siapapun dan aku akan mengikuti alur ini.
Kami terbiasa menghabiskan hari bersama dengan berkeliling kota, berkeliling kota memakai transportasi umum. Menurut kami sebagai warga DKI Jakarta yang baik sudah selayaknya menggunakan sarana dan prasarana yang tersedia, salah satunya dengan menggunakan Trans Jakarta.
Dengan demikian, kita telah berpartisipasi untuk mengurangi kemacetan yang menjadi masalah di Jakarta. Berkeliling kota menyaksikan kemegahan dan keindahannya dengan balutan cinta antara aku dan dia.
Alasanku mencintainya bukanlah karena nafsu seperti perkiraan orang disekelilingku. Akan tetapi, semua ini murni karena rasa itu, rasa yang telah membawaku padanya. Sempat terlintas dalam benakku untuk memilikinya, tapi aku terhenti tatkala ia menyudutkanku perihal perbedaan di antara kami.
Hiruk pikuk kehidupan seringkali membuatku jenuh. Salah satu cara untuk mengobatinya adalah dengan berkunjung ke tempat favorit masa kecilku, yakni Monumen Nasional atau lebih dikenal dengan sebutan "Monas". Dari Monas kita dapat melihat sisi kota dari berbagai masa, melihat kejayaan kota dan perjuangan dalam meraih kejayaan itu.Â
Di dalam Monas kita dapat mendengarkan rekaman suara Sang Proklamator bangsa dan di puncak Monas kita dapat menyaksikan megahnya Kota Jakarta dari ketinggian. Tak lupa, suguhan kuliner yang menggugah selera siap memanjakan setiap lidah. Tentunya, dengan berbagai kuliner khas Betawi.