Bu, aku ini bukanlah orang yang pintar
Hanya tamatan SD, mau dibuat apa ijazahku ini?
Tidak bisa ibu banggakan kepada tetangga di sebelah kamar
Yang ada, kita akan diejek karena tak tahu diri
Aku...
Aku putus sekolah bukan karena aku malas kan, Bu?
Kemarin kita telah mencoba, tapi tidak diterima sampai depan pintu
Melewati batas kaki saja, kita tak boleh memasuki tempat suci itu
Bertandang kesana, kita harus punya malu, Bu
Padahal, kita ini diberi hak asasi
Bukankah sudah pantas kita perjuangkan?
Ke mana? Ke mana sisa-sisa nurani yang masih berdiri untuk pertiwi ini?
Apa sudah menghilang seiring zaman?
Kita ini bangsa besar, tapi mengapa segalanya lepas dari jangkauan
Memandang saja, sudah dibedakan satu dengan yang lainnya
Dulu...
Kita boleh bergotong-royong membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan
Sekarang, malah terbatas oleh tembok tinggi bersekat kasta
Mungkin, aku tak mengerti ilmu dunia
Karena untuk membaca saja, aku masih mengeja
Tapi aku fasih dalam berbahasa
Setidaknya, aku mengerti jeritan rakyat biasa
Begitu ironis, Bu
Disaat banyak air mata yang jatuh membela kemerdekaan
Ketika nyawa, harus dibayar oleh darah pengorbanan
Martabat bangsa, malah dilebur menjadi abu
Lalu, bagaimana dengan nasib istri yang menjanda?
Bagi mereka, anak-anak yang terlanjur menjadi yatim dan piatu
Apa boleh aku tertawa?
Menyaksikan pemandangan bodoh yang tersaji di punuk lembu
Bagi mereka!
Bagi mereka yang menari dengan luka di badannya
Membawa, membawa segenggam harapan pada mangkuk kecil di tangannya
Bukan, untuk membalas dan meminta belas kasihan
Tapi sudikah manusia memberikan sedikit asa untuknya?
Semoga, salamku ini sampai ke pangkuan pertiwi
Lekaslah sembuh dari pesakitan
Jangan meringkuk lagi
Bangkitlah!
Bangkitlah dengan semangat kebangsaan!
Meskipun...
Meskipun ibu pernah berkata,
"Kita ini orang kecil, tahu apa tentang persoalan rumit ini, bisa hidup sampai esok saja, itu sudah cukup. Jangan tanyakan lagi pada 'mereka' yang ada di sana" Â (Tangan ibu menunjuk sebuah gedung putih, berlambang Garuda yang begitu gagah).
Namun, ada bias kesedihan di matamu, Bu
Aku tahu, itu karena cintamu pada bangsa
Takkan lagi aku bertanya, mengapa