Mohon tunggu...
Ismail Marzuki
Ismail Marzuki Mohon Tunggu... Dosen - Hidup ini layaknya cermin, apa yang kita lalukan itulah yang nampak atau kita hasilkan

Memiliki banyak teman adalah kebahagiaan yang tak terkira. Senyum selalu dalam menjalani hidup akan memberi makna yang membekas dalam tiap bait hari-hari

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menapaki Kenangan

4 Juni 2024   21:56 Diperbarui: 5 Juni 2024   03:50 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.takanta.id

MENAPAKI KENANGAN

____________

Bermula lirikan manta bundar, berkulit sawo matang

Dengan alis yang melengkung bak iring semut

Kutatap, lalu kutanya diri, ia siapa?

Kucari-cari tentangnya, ternyata saudara

Tak banyak kata bertemu dengan kata dalam ucap

Tak ada tegur sapa yang panjang

Tak ada canda yang hangat untuk dibicarakan

Hanya sapaan lepas lantaran berpapasan di jalan sekolah

Tahu-tahunpun belalu

Akupun lepas dari sekolah

Tak ada rintik hujan untuk dikenang

Tak ada candaan untuk diulang

Semuanya berlalu dengan biasa saja

Tahun-tahunpun berjalan,

Hampir tak pernah melihatnya lagi

Sesekali saja saat lebaran tiba, itupun masih dengan kecanggungan

Hingga aku lulus juga dengan meninggalkan kecupuan

Tak lama kemudian

Akupun masuk kuliah di tempat pilihan

Di situlah aku bertemu dengannya lagi

Saling mencari atas nama saudara

Mencoba untuk saling berbagi papa atas keterbatasan yang ada

Semakin hari ia berani menyapa

Semakin hari ia berani berbicara

Hingga sampai ia berani bermanja.

Bahkan meminta apa saja yang ada aku bisa

Aku biarkan, aku tak menolak

Bagiku itulah saudara harus saling berbagi apa saja yang dibisa

Berbagai kegiatan saling membuat kami dipertemukan

Tempat kuliah yang tak jauh membuat kami sering bertatap atau sekedar untuk saling mencari

Entah tentang Leptop atau apa saja yang bisa untuk dibagi

Ia memberanikan diri untuk meminta untuk dibawa

Akupun mengiyakan

Itu yang pertama kali dan seterusnya.

Terkadang, pertengkarang terjadi untuk saling menggungguli

Membuli tak ayal sering terjadi
Namun, lagi-lagi kami tetap saling mencari

Tak sedikit kadang saling menjaili lagi

Ia adalah perempuan yang pertama aku bawa

Dengan motor yang aku punya untuk meintasi desa,

Bagiku itu tak mengapa, karena membawa saudara itu biasa

Namun, lagi-lagi banyak keluarga mulai curiga

Bagiku, itu sudah biasa untuk sebuah keluarga

Kamipun semakin dekat, orang-orangpun ikut terpikat

Tak sedikit aku mengantarnya ke mana ia mau.

Lagi-lagi, bagiku itu adalah kewajaran untuk saling membantu atas nama saudara

Hari berganti hari,

Bulan berganti bulan,

Tahunpun berganti tahun

Pertengkaran berganti rindu yang sendu

Kami sibuk dengan skolah yang harus diperhatikan

Namun sisi hati untuk cari saudara selalu ada

Hingga sampai pada sebuah pernyataan

"Hanya aku yang diijinkan untuk membawanya"

Aku tak tahu, maksud keluarga itu apa

Apakah aku sekedar dipercaya atau apa

Bagiku saat itu, dijalani saja tampa ada pengakuan

Sesama saudara harus saling ada untuk sebuah apa

Pernah suatu waktu

Aku tengah ada ditengah ladang lagi bekerja

Kubuka HP ada sapa, "Ayok datang, aku nginap di sini"

Ku iyakan, lalu bergegas, pergi ke tempatnya

Kutemui dia,

Kutepati janji untuk bertemu di malam hari di rumah saudara

Lagi-lagi kami saling membuli berkali-kali

Hingga Mustika Sion menjadi nama untuk dikenang selamanya

Malam itu begitu temaram

Kamipun duduk disampiran kali berteman rembulan

Kusapa ia, ia pun menyapa

Pembicaraan hanya dipenuhi canda dan tawa

Tak sedikit membuatnya menangis

Bukan tangisan kesedihan, namun tangisan persaudaraan

Itu yang kutahu dari sekaan air matanya

Atau pukulannya yang menjadikan punggungku menjadi saksi bisu untuknya

Perlahan, waktu mulai memuncak

Kutahu ia bersama kekasihnya

Namun sering kali ia tidak mengakuinya

Ia hanya percaya dirinya cantik dan jelita yang menagih pengakuanku

Berkali-kali ia tanya, "Apakah aku cantik?"

Berkali-kali juga aku membisu tak berkata

Kupendam pengakuanku karena itu adalah rahasia

Perlahan waktu semakin sendu,

Aku mendengar ia menikah dengan seorang Doktor

Waktu berdetak seketika pelan diantara desas-desus pernikahanya

Kuucap, "Alhamdulia". Jodohnya telah datang

Satu sisi kuucap "Innalillah,

Satu diantara keceriaan dengan saudara kini hilang

Kurelakan, kudoakan, komohonkan

Meski, kadang keluarga menatap wajahku berharap ada kesedihan

Tak ada yang kuseka sekedar air mata

Kusimpan dalam hati, lalu kucoba hembuskan dari nafas-nafasku yang lirih

Berkali-kali kami mengenang untuk saling menyapa lewat media massa

Mustika Sion, mulai berpendar dan menyala

Tapi tak seterang dulu

Berpendar lagi, lalu redup lagi

Kemudian disimpan dibilik kenangan selamanya

Kukatakan padanya hari ini,

"Bibirku tersenyum bila mengenang Mustika Sion"

Namun, ia menjawab "malah aku bersedih"

Rindu akan hari-hari yang begitu mengesankan

Lala kukatakan padanya,

"Tempat terjauh yang kutahu saat ini adalah masa lalu. Jika itu pantas untuk dikenang dan melukis senyuman di bibir, maka laluilah dengan kenangan. Hanya tapak kenangan yang bisa menjalani rasa untuk menyusuri waktu dalam sisa ingatan kita."

Sorong, 04 Juni 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun